Rabu, 05 Mei 2010

MODEL-MODEL IMPLEMENTASI KEBIJAKAN NEGARA

A. Model yang Dikembangkan oleh Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gunn (1978-1986)
Dalam mengimplementasikan kebijaksanaan Negara menurut model ini terdiri dari syarat-syarat yaitu:

1. Kondisi Eksternal yang Dihadapi oleh Badan/Instansi Pelaksanaan Tidak akan Menimbulkan Gangguan/Kendala yang serius
Kendala/hambatan pada saat implementasi kebijaksanaan seringkali diluar kendali para administrator:
Hambatan yang bersifat fisik, missal dalam pembangunan pertanian yang dipengaruhi oleh musim, kemacetan tol, hama penyakit.
Hambatan yang bersifat politis, missal kebijaksanaan yang tidak ditrima/tidak disepakati oleh pelbagai pihak (partai politik atau yang mempunyai kepentingan)

2. Untuk Pelaksanaan Program Tersedia Waktu dan Sumber-sumber yang Cukup Memadai
Dalam hal ini menitik beratkan bahwasanya, alasan yang biasanya dikemukakan ialah terlalu banyak berharap dalam waktu yang terlalu pendek. Selain itu apabila dana khusus untuk membiayai pelaksanaan program sudah tersedia, tapi harus dapat dihabiskan dalam tempo yang amat singkat.

3. Perpaduan Sumber-sumber yang Diperlukan Benar-benar Tersedia
Misalnya, perpaduan antara dana, tenaga kerja, tanah, peralatan, dan bahan-bahan bangunan yang diperlukan untuk membangun proyek tersebut seharusnya dapat dipersiapkan secara serentak, namun ternyata salah satu atau mungkin kombinasi dari beberapa sumber tersebut mengalami kelambatan dalam penyediaan sehingga berakibat proyek tersebut tertunda pelaksanaan dan penyelesaiannya dalam beberapa bulan.

4. Kebijaksanaan yang Akan Diimplementasikan Didasari oleh Suatu Hubungan Kausalitas yang Andal
dalam hal kebijaksanaan ini didasari oleh tingkat pemahaman yang tidak memadai mengenai persoalan yang akan ditanggulangi. Oleh karena ini, apabila ternyata kelak kebijaksanaan itu gagal, maka kemungkinan penyebabnya bersumber pada ketidaktepatan teori yang menjadi landasan kebijaksanaan tadi dan bukan karena implementasi yang keliru. (Pressman dan Wildavsky).

5. Hubungan Kausalitas Bersifat Langsung dan Hanya Sedikit Mata Rantai Penghubungnya
Menurut Pressman dan Wildasky, yang intinya bahwasanya semakin banyak hubungan dalam nata rantai, semakin besar pula resiko bahwa beberapa di antaranya kelak terbukti amat lemah atau tidak dapat dilaksanakan.

6. Hubungan Saling Ketergantungan Harus Kecil
Hal ini dikarenakan hubungan ketergantungan dengan organisasi-organisasi ini haruslah pada tingkat yang minimal, baik dalam artian jumlah maupun kadar kepentingannya.

7. Pemahaman yang Mendalam dan Kesepakatan Terhadap Tujuan
Tujuan tersebut haruslah dirumuskan dengan jelas, spesifik, dan lebih baik lagi apabila dapat dikuantitatifkan, dipahami, serta disepakati oleh seluruh pihak yang terlibat dalam organisasi, bersifat saling melengkapi dan mendukung, serta mampu berperan selaku pedoman dengan mana pelaksanaan program dapat dimonitor.

8. Tugas-tugas Diperinci dan Ditempatkan dalam Urutan yang Tepat
Tugas-tugas terdebut dilaksanakan dengan benar dan tepat pada waktunya serta melakukan tindakan-tindakan perbaikan yang diperlukan apabila ternyata pelaksanaan tugas tersebut melenceng dari rencana.

9. Komunikasi dan Koordinasi yang Sempurna
Koordinasi sudah barang tentu bukanlah sekedar menyangkut persoalan mengkomunikasikan informasi adapun membentuk struktur-struktur administrasi yang cocok, melainkan menyangkut pula persoalan yang lebih mendasar, yakni praktek pelaksanaan kekuasaan.

10. Pihak-pihak yang Memiliki Wewenang Kekuasaan Dapat Menuntut dan Mendapatkan Kepatuhan yang Sempurna
Bahwa mereka yang memiliki wewenang seharusnya juga mereka yang memiliki kekuasaan dan mampu menjamin tumbuh kembangnya sikap patuh yang menyeluruh dan serentak dari pihak-pihak lain (baik yang berasal dari kalangan dalam badan/organisasi sendiri maupun yang berasal dari luar).

B. Model yang Dikembangkan oleh Van Meter dan Van Horn (1975), yang disebut sebagai A Model of the Policy Implementation Process (model proses implementasi kebijaksanaan)
Tipologi kebijaksanaan menurut Van Meter dan Van Horn
a) Jumlah masing-masing perubahan yang akan dihasilkan
b) Jangkauan atau lingkup kesepakatan terhadap tujuan di antara pihak-pihak yang terlibat dalam proses implementasi.

Hal lai yang dikemukakan oleh kedua ahli di atas ialah bahwa jalan yang menghubungkan antara kebijakan dan prestasi kerja dipisahkan oleh sejumlah variable bebas (independent variable) yang saling berkaitan. Variable-veriabel bebas itu ialah:
1. Ukuran dan Tujuan Kebijaksanaan.
2. Sumber-sumber kebijaksanaan.
3. Ciri-ciri atau sifat Badan/instansi pelaksanaan.
4. Komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan.
5. Sikap para pelaksana.
6. Lingkungan ekonomi, social dan politik.

C. Model yang Dikembangkan oleh Daniel Mazmania dan Paul A. Sabatier, yang Disebut A Frame Work for Implementation Analysis (Kerangka Analisis Implementasi)
Kedua ahli ini berpendapat bahwa peran penting dari analisis implementasi kebijaksanaan Negara ialah mengidentifikasikan variable-variabel yang mempengaruhi tercapainya tujuan-tujuan formal pada keseluruhan implementasi.
Variable-variabel yang dimaksud dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) kategori besar, yaitu:
1. Mudah tidaknya masalah yang akan digarap dikendalikan
2. Kemampuan keputusan kebijaksanaan untuk menstrukturkan secara tepat proses implementasinya
3. Pengaruh langsung pelbagai variable politik terhadap keseimbangan dukungan bagi tujuan yang termuat dalam keputusan kebijaksanaan tersebut.

Variable-variabel Proses Implementasi Kebijaksanaan.
a. Mudah Tidaknya Masalah Dikendalikan
• Kesukaran-kesukaran teknis
• Keragaman perilaku kelompok sasaran
• Prosentase kelompok sasaran disbanding jumlah penduduk
• Ruang lingkup perubahan perilaku yang diinginkan

b. Kemampuan Kebijaksanaan untuk Menstrukturkan Proses Implementasi
• Kejelasan dan konsistensi tujuan
• Digunakan teori kausal yang memadai
• Ketetapan alokasi sumber dana
• Keterpatuan hierarki dalam dan di antara lembaga-lembaga pelaksana
• Aturan-aturan keputusan dari badan pelaksana
• Rekrutmen pejabat pelaksana
• Akses formal pihak luar

c. Variabel di luar Kebijaksanaan yang Mempengaruhi Proses Implementasi
• Kondisi sosio-ekonomi dan teknologi
• Dukungan public
• Sikap dan sumber-sumber yang dimiliki kelompok-kelompok
• Dukungan dari pejabat atasan
• Komitmen dan kemampuan kepemimpinan pejabat-pejabat pelaksana

d. Tahap-tahap dalam Proses Implementasi (Variabel Tergantung)
• Output Kebijaksanaan Badan-badan pelaksana
• Kesediaan kelompok sasaran memetuhi output kebijaksanaan
• Dampak nyata Output kebijaksanaan
• Dampak output kebijaksanaan sebagai dipersasi
• Perbaikan mendasar dalam undang-undang

Tashih masalah ( Pembulatan Asal Masalah)

BAB I
LATAR BELAKANG

Syariat Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur dan adil. Di dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan dengan cara yang legal. Syariat Islam juga menetapkan hak pemindahan kepemilikan seseorang sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya, dari seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan, besar atau kecil.

Al-Qur'an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang harus diterima semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas saudara seayah atau seibu.

Oleh karena itu, Al-Qur'an merupakan acuan utama hukum dan penentuan pembagian waris, sedangkan ketetapan tentang kewarisan yang diambil dari hadits Rasulullah saw. dan ijma' para ulama sangat sedikit. Dapat dikatakan bahwa dalam hukum dan syariat Islam sedikit sekali ayat Al-Qur'an yang merinci suatu hukum secara detail dan rinci, kecuali hukum waris ini. Hal demikian disebabkan kewarisan merupakan salah satu bentuk kepemilikan yang legal dan dibenarkan AlIah SWT. Di samping bahwa harta merupakan tonggak penegak kehidupan baik bagi individu maupun kelompok masyarakat.

Dalam peradilan atau dalam hukum Indonesia juga terdapat hukum waris adat. Selama ini, khususnya sebelum muncul UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama memamg sering terjadi kerancuan. Bagi umat muslim mau membagi warisannya secara apa. Jika ia mau membagikan menurut hukum Islam bagaimana, jika ia mau membagikan secara hukum adat atau perdata bagaimana. Artinya, sebelum keluarnya UU Pengadilan Agama masing-masing orang mempunyai pilihan atau opsi dengan cara apa ia membagi warisannya. Misalnya yang beragama islam bisa saja tidak mengambil secara waris islam tapi bisa ke waris perdata.

Dalam hukum waris Islam dikenal juga adanya mahjud (tertutupnya ahli waris). Bukan terhalang, tapi tertutup. Misalnya seorang cucu tidak bisa mendapat warisan jika ada anak. Kemudian kakek juga tidak dapat warisan kalau bapaknya masih ada.


BAB II
PERMASALAHAN

Permasalahan hukum waris yang saya angkat diantaranya yaitu:
I. Permasalahan dengan kasus kalau yang meninggal adalah istri dan tidak memiliki anak. Bagaimana pembagian dan solusi yang terbaik.
II. Untuk kasus dimana misalnya seseorang meninggal, dimana sebelumnya dia memberikan hibah ke anaknya yang pertama. Bagaimana pembagian dan solusi yang terbaik.
III. Untuk kasus keadaan dimana seorang ibu yang sedang hamil dan kemudian suaminya meninggal. Bagaimana pembagian dan solusi yang terbaik.
IV. Terdapat lagi satu kasus seseorang istri yang menikah dibawah tangan dengan suaminya dan suaminya kemudian meninggal. Bagaimana pembagian dan solusi yang terbaik.


BAB III
PEMBAHASAN

A. Pengertian
Tashih masalah ( Pembulatan Asal Masalah) adalah suatu hal yang harus dilakukan oleh setiap orang yang membicarakan ilmu waris, sehingga dia bisa membagikan harta waris kepada ahli waris yang berhak menerimanya dengan jalan yang benar dan menyerahkan bagian-bagian tersebut kepada mereka dengan sempurna, tidak kurang dan tidak lebih. 

Yang jelas dalam waris Islam bagian laki-laki 2 kali bagian perempuan. Sedangkan dalam hukum waris perdata bagian perempuan seimbang atau sama rata dengan bagian laki-laki. Namun demikian dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) jiga ditegaskan bahwa apabila kata sepakat atau musyawarah antara para ahli waris maka warisan bisa dibagi secara sama rata. 

Dikalangan ulama fikih dan ulama faraid, mengetahui asal masalah disebut dengan istilah ta’shil. Maksudnya, agar kita bisa menghasilkan angka terkecil yang bisa dibagikan dengan genap kepada setiap ahli waris. Dalam hal penyelesaiaan masalah, pembagian waris tidak bisa diterima kecuali dengan pembagian yang genap.
Dalam rangka mencari asal masalah, langkah pertama yang harus dilakukan adalah melihat para ahli waris. Apakah mereka yang terdiri dari ahli waris ashabah (bagian sisa) semua atau ahli waris bagian pokok (dzamil furudh) semua, atau campuran (sebagian ahli waris ashabah dan sebagian yang ahli waris (dzamil furudh).


B. Bentuk-bentuk Ahli Waris Berdasarkan Asal Masalah
1. Ahli waris ashabah (bagian sisa) semua.
Tahap ini dikerjakan setelah selesai tahapan halang-menghalang, sebab kalaupun tahapan halang-menghalangsudah selesai bukan berarti sudah dapat ditentukan berapa bagian masing-masing, karena diantara para ahli waris yang tidak terhalang tersebut kemungkinan ada ahli waris yang tidak dapat ditentukan porsi atau jumlah bagiannya, sebab tidak ada porsi khususyang telah ditetapkan untuk bagiannya, dan oleh karena sesuatu hal dia menjadi ashabah.

Apabila seseorang atau beberapa orang ahli waris sudah ditetapkan sebagai ashabah, maka dapat saja memperoleh bagian yang lebih besar, atau memperoleh sedikit, atau dapat juga tidak memperoleh sisa sama sekali.

Konsekuensi ashabah adalah menunggu sisa pembagian, dengan sendirinya seorang ashabah dapat saja memperoleh bagian yang lebih besar, atau memperoleh sedikit, atau dapat juga tidak memperoleh sisa sama sekali.

Secara umum ashabah ini terbagi kepada dua, yaitu:
1. Ashabah Nasabiyah, yaitu menjadi ashabah disebabkan adanya hubungan darah dengan si pewaris.
a. Ashabah bi Nafsi, yaitu ia menjadi ashabah dengan dirinya sendiri, yaitu disebabkan karena kedudukannya. Adapun ahli waris yang menjadi ashabah bi nafsi ini adalah seluruh ahli waris yang laki-laki kecuali suami dan saudara laki-laki seibu.
b. Ashabah bil Ghair, yaitu menjadi ashabah karena disebabkan oleh orang lain, hal ini terjadi pada ahli waris yang perempuan, dimana sebelumnya di bukan merupakan ashabah (ada bagian tertentu dalam Al-Qur’an dan Hadist), namun dengan hadirnya ahli waris bi nafsi (laki-laki) yang sederajat dengannya dia menjadi ashabah.
1) AP dikarenakan AL
2) CP dikarenakan CL
3) Cicit pr dikarenakan civit lk; seterusnya ke bawah. Cicit lk dapat
mengshabahkan CP apabila CL tidak ada (yang rendah dapat mengashabahkan
yang lebih tinggi dengan syarat yang diatas akan terhijab).
4) Sdr pr sisb dikarenakan sdr lk sisb.
5) Sdr pr sb dikarenakan sdr lk sb.
Contoh :
Suami meninggal, meninggalkan:
1 istri, 1ibu, 4 anak, 7 cucu Pr ashabah bil ghair karena cicit laki-laki, 2 cicit Lk ashabah bi nafsi.

Dalam kasus ini walaupun anak perempuan lebih dari 1 orang dan ccu laki-laki tidak ada. Namun cucu perempuan tidak terhijab karena diashabah oleh cicit laki-laki. Cucu perempuan dapat saja diashabah oleh cicit laki-laki atau yang lebih rendah, dengan syarat cucu perempuan akan terhalang, sedangkan apabila cucu perempuan tidak akan terhalang maka cicit laki-laki tidak dapat mengashabahnya (cucu perempuan). Dengan demikian anak perempuan tidak akan pernah diashabahkan oleh cucu laki-laki, cicit laki-laki karena anak perempuan tidak akan pernah terhalang.
c. Ashabah Ma’al Ghair, yaitu menjadi ashabah karena mewaris bersama dengan orang
lain. Yang menjadi ashabah ma’al ghair ini adalah saudara perempuan seibu sebapak karena mewaris bersama dengan anak perempuan (AP), cucu perempuan (CP), cicit perempuan dan seterusnya. Jelas ashabah ma’al ghair ini kemungkinannya hanyalah saudara perempuan seibu sebapak dan saudara perempuan sebapak saja, yaitu:
1) Sdr pr sisb bersama dengan AP
2) Sdr pr sisb bersama dengan CP
3) Sdr pr sb bersama dengan AP
4) Sdr pr sb bersama dengan CP
Contoh :
Seorang suami meninggal, dan meninggalkan ahli waris sebagai berikut:
4 orang istri, 1 anak perempuan, 1 sdr pr sisb (ahabah ma’al ghair karena AP), 2 sdr lk sb dan 3 sdr pr sb (terhijab oleh sdr pr sisb karena ahabah ma’al ghair).

Dalam kasus ini kalaupun saudara laki-laki sebapak merupakan ashabah bi nafsi, dan saudara perempuan sebapak menjadi ashabah bil ghair (karena bersama dengan sdr lk sb) dia tetap terhalang, karena saudara perempuan seibu sebapak menjadi ashabah ma’al ghair, sebab ia mewaris bersama dengan anak perempuan, dan apabila saudara perempuan seibu sebapak ashabah ma’al ghair, maka kedudukannya sama dengan saudara laki-laki seibu sebapak dan otomatis saudara laki-laki sebapak terhijab.
2. Ashabah Sababiyah, yaitu menjadi ashabah dikarenakan adanya sesuatu sebab, sebab yang dimaksud di sini adalah karena ada perbuatan memerdekakan si mayat dari perbudakan (lazimnya sekarang ini tidak ada lagi ditemui).

2. Ahli waris bagian pokok (dzamil furudh) semua.
Adapun yang dimaksud dengan bagian pokok (dzamil furudh) adalah bagian masing-masing/pendapatan ahli waris yang telah ada ketentuannya dalam ketentuan Al-Qur’an dan Al-Hadis.

Jika ahli waris hanya terdiri dari seseorang ahli waris bagian pokok, maka asal masalahnya diambil dari angka penyebut bagian ahli waris tersebut. Jika bagiannya 1/3 asal masalahnya 3; untuk bagian ¼ asal masalahnya 4; untuk bagian 1/6 asal masalahnya 6; untuk bagian 1/8 asal masalahnya 8. begitu seterusnya, asal masalah seorang ahli waris adalah penyebut dari pecahan angka yang menunjukkan bagiannya.

Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 192 menyebutkan, ”apabila dalam pembagian harta warisan di antara para ahli waris Dzamil furud menunjukkan bahwa angka pembilang lebih besar dari angka penyebut, maka angka penyebut dinaikan sesuai dengan angka pembilang, dan baru sesudah itu harta warisan dibagi secara aul menurut angka pembilang”

Di ikuti dalam pasal 193 menyebutkan ” apabila dalam pembagian harta warisan di antara para ahli waris Dzamil furud menunjukkan bahwa angka pembilang lebih kecil dari angka penyebut, sedangkan tidak ada ahli waris asabah,maka angka pembagian harta warisan tersebut dilakukan secara rad, yaitu sesuai dengan hak masing-masing ahli waris, sedangkan sisanya dibagi secara berimbang diantara mereka”

C. Cara Penyelesaian Masalah
1. Pembahasan Masalah I
Jadi dalam hukum waris Islam dikenal ashabul furud, yaitu mereka yang berhak menerima bagian waris secara mutlak atau tidak akan tertutup oleh siapapun juga. Ashabul furud ini pertama kali adalah suami atau istri yang ditinggal mati oleh istri atau suami. Suami atau istri ini mutlakmendapat harta warisan pewaris (pihak yang meninggal) dan tidak bisa terhalang oleh siapapun. Namun apabila si pewaris memiliki anak, maka anak-anaknya (baik yang perempuan atau laki-laki) juga mendapat warisan itu.

Kalau yang meninggal adalah istri dan tidak memiliki anak, maka si suami mendapatkan separuh dari harta warisan, sedangkan jika punya anak si suami mendapat ¼. Kalau yang meninggal adalah suamidan tidak memiliki anak, maka si istri mendapat ¼ dari harta warisan pewaris, sedangkan jika punya anak maka si istri mendapatkan 1/8. Kalau orang tua pewaris masih hidup, maka bapak dan ibu pewaris juga mendapat harta warisan dan tidak bisa tertutup oleh siapapun. Jadi ada ashabul furud yang keatas (yaitu orang tua), menyamping (yaitu suami atau isti) dan ke bawah (yaitu anak). Saudara kandung (kakak atau adik) pewaris bisa saja mendapat warisan jika pewaris tidak memiliki anak. 

Dalam hukum syar;i Islam ini juga diatur masalah rumah tangga mulai dari seseorang belum lahir sampai meninggal. Begitu pula masalah harta-harta itu sendiri. Contohnya setelah di menikah dan kemudian bercerai itu kan ada ketentuan mengenai harta bersama yang dipilah dengan harta bawaan. Begitu juga ketika seseorang meninggal, maka disitu dikenal juga harta peninggalan dan harta warisan. Dalam bab 1 Pasal 171 poin d KHI disebutkan harta peninggalan adalah adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris, baik yang berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya. Hak-hak ini misalnya hak cipta atau hak kekayaan intelektual.

Kemudian dalam KHI juga dijelaskan mengenai harta warisan, yaitu harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah, pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.

2. Pembahasan Masalah II
Jadi harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris, sedangkan harta warisan murni adalah harta bawaan ditambah harta bersama dari suami atau istrinya setelah dipilih dan dikurangi biaya pengurusan waktu dia sakit (jika memang sakit), meninggal, mengubur, membayar hutang (jika punya hutang) dan wasiat. Apabila punya wasiat dipilih juga wasiatnya. Harta warisan murni inilah yang nantinya akan dibagi-bagi kepada ahli waris. Bila juga terjadi dimana harta warisan murni justru kurang, sehingga ahli waris yang harusnya menanggung semua biaya-biaya yang tadi. Dalam surat An Nisa ayat 11 dikatakan bahwa Allah berwasiat kepada kamu untuk membagi warisan sesuai dengan syariat setelah dihitung wasiatnya (dipilih wasiatnya) dan diselesaikan hutang-piutangnya. Jadi kalau ada hutang piutang nanti kita liat hartanya berapa, hutangnya berapa. Kalau memang deficit atau minus itulah yang harus ditanggung bersama sesuai kesepakatan musyawarah.

Apabila harta peninggalan itu memang ada ahli warisnya maka ahli warisnya itu tetap dibagi. Karena peninggalan itu adalah harta secara umum. Sedangkan harta warisan murni adalah harta yang sudah dibersihkan dari segala urusan yang tadi.

Sedangkan untuk wasiat dalam hukum waris perdata dikenal dengan testament. Wasiat itu harus dibagi setelah pemberian wasiat meninggal. Wasiat ada yang tertutup dan terbuka dan bisa diberikan kepada siapa saja. Wasiat berbeda dengan hibah, karena kalau hibah boleh dilaksanakan si pemberi masih hidup, sedangkan wasiat baru boleh dilaksanakan setelah pemberi wasiat meninggal. Wasiat ini bisa dilakukan secara lisan atau tertulis dan dilakukan terhadap harta yang dimiliki secara sempurna. Artinya bukan harta dalam sengketa. Misalnya seorang bapak mewariskan sebidang tanah yang memang dia punya kepada anaknya. Wasiat juga tidak boleh lebih dari 1/3 harta warisan. Wasiat akan diperhitungkan sebagai bagian dari warisan kalau lebih dari 1/3. Anak laki-laki langsung mendapat bagian ashobah atau sisa harta. Wasiat juga harus disaksikan oleh dua orang saksi dan harus secara otentik dicatatkan di kantor notaries. Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa “apabila seseorang menjelang ajal atau sedang dalam bepergian jauh hendaknya dia membuat wasiat kepada keluarganya.” Oleh karena itu kita wajib berwasiat kepada keluarga kita apabila kita mau pergi jauh.

Untuk kasus dimana misalnya seseorang meninggal, dimana sebelumnya dia memberikan hibah ke anaknya yang pertama. Tapi dua orang anaknya yang lain tidak diberi hibah. Maka selama hibah itu diberikan kepada ahli waris itu akan diperhitungkan sebagai bagian warisan. Namun kalau hibah itu diberikan kepada yang bukan ahli waris akan dilihat bagaimana hibah itu dilakukan, sah atau tidak, otentik atau tidak, karena hibah juga ada juga dibawah tangan. Kalau hibah itu tidak sah maka pemberian hibahnya bisa ditarik dengan cara pembatalan hibah. Namun kita juga harus melihat unsure keadilannya juga. Kalau semua harta diberikan kepada anak angkat atau menentu kesayangan dimana mereka itu sebenarnya bukan ahli waris, maka perlu dilihat apakah hibah itu disetujui oleh ahli waris yang lainya.

3. Pembahasan Masalah III
Untuk kasus keadaan dimana seorang ibu yang sedang hamil dan kemudian suaminya meninggal, juga terkadang menimbulkan permasalahan tersendiri dan menimbulkan pertanyaan apakah si anak yang dikandung ini bisa terhitung sebagai ahli waris. Pada dasarnya ahli waris adalah orang yang ada pada waktu si pewaris meninggal atau wafat. Timbul satu pengembangan, bagaimana jika ahli waris meninggal sebelum si pewaris meninggal. Apabila anak bertepatan dengan meninggalnya suami itu perlu diperhitungkan sebagai bagian anak laki-laki. Namun apabila kembali kepada kaidah atau norma, ahli waris adalah orang yang ada pada waktu si pewaris wafat. Artinya kalau anak itu lahir setelah ayahnya meninggal atau ketika ayahnya meninggal si anak masih dalam kandungan maka ia tidak menjadi ahli waris.

Hal ini berbeda dengan hukum perdata. Menurut pasal 2 KUHPerdana, dinyatakan bahwa anak yang sedang dalam berada kandungan merupakan subyek hukum. Sehingga dengan demikian, bayi dalam kandungan pun memiliki mewaris. Dalam fikih juga ada pendapat demikian. Jadi tadi sudah saya katakana secara sepintas bahwa anak itu dihitung sebagai anak laki-laki. Tapi ada pendapat lain yang mengatakan bahwa itu tidak bisa. Karena si anak tersebut tidak ada wujudnya belum ada waktu si pewaris meninggal. Sehingga dengan demikian apabila si anak tersebut lahir, maka dia tetap akan mendapat warisan, namun hanya dari ibu.

4. Pembahasan Masalah IV
Terdapat lagi satu kasus seseorang istri yang menikah dibawah tangan dengan suaminya dan suaminya kemudian meninggal. Sebelumnya suami itu telah mempunyai seorang istri namun tidak mempunyai anak, sehingga istri pertama mengangkat seorang anak tetangga sebagai anaknya. Sebelum suami meninggal, ia pernah berpesan agar jika dirinya meninggal, maka sang istri dapat meminta hak warisnya kepada ibu mertuanya. Namun si ibu mertua ini tidak mau memberikan sekarang, melainkan nanti jika si anak sudah besar. Padahal anak-anak dari si istri yang dibawah tangan ini memberikan biaya pendidikan sejak kecil.

Kasus ini cukup rumit, karena menikah dibawah tangan maka pembuktiannya kurang kuat. Untuk itu, maka sang istri untuk itu si istri yang menikah dibawah tangan ini harus meminta itsbat nikah dulu ke pengadilan agama, agar perkawinan dengan suaminya itu (pewaris) tercatat. Hal ini untuk mencegah alibi mertuanya yang mengatakan bahwa perkawinan mereka tidak sah atau tidak kuat karena hanya dibawah tangan. Setelah memperoleh isbat nikah baru kemudian dia dapat menggugat ke pengadilan agama agar harta warisan suaminya segera dibagi. Walaupun pada dasarnya harta warisan itu tidak harus segera dibagi tetapi juga tidak harus ditunda pembagiannya. Pada pokoknya kalau memang ada isbat nikah atau buku nikah maka itu akan kita perhitungkan sebagai ahli waris. Namun demikian pengadilan akan melihat asas-asas keadilan.


BAB IV
PENUTUP

a. Kesimpulan
Dalam pembahasan diatas dapat kita ambil kesimpulannya yaitu manakala kita menghadapi persoalan warisan yang menyangkut dengan hukum waris Islam (hukum faraidh), apabila hendak menyelesaikannya sebenarnya dapat kita selesaikan dengan mudah, apabila segala persoalan yang menyangkut proses pembagiannya dikerjakan secara sistematis.
Dalam mengerjakan pembagian harta warisan menurut hukum waris islam, pertama sekali yang penting diketahui adalah sistematika penyelesaiannya, dengan kata lain ada tahapan-tahapan yang harus kita lalui, dan apabila tahapan-tahapan ini kita lalui dengan benar, maka bagaimanapun rumitnya persoalan warisan yang dihadapi, dengan mudah kerumitan itu akan dapat diselesaikan.

b. Saran
Dalam penyelesaian masalah mengenai pembagian waris harus didasari dengan asas keadilan yang juga harus merujuk kepada Al-Qur’an dan Hadist, beserta dengan hukum peraturan yang lainnya yang juga merujuk kepada penyelesaiaan yang berkeadilan dalam pembagian waris tersebut sehingga tidak ada persengketaan di kemudian harinya.


DAFTAR PUSTAKA

Ali, Prof. H. Mohammad Daud, S.H. 1991. Hukum Islam. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Lubis, Suhrawardi K., S.H Dan Komis Simanjuntak, S.H. 1995. Hukum Waris Islam.
Jakarta: Sinar Grafika.
M, Hajar. 2007. Hukum Kewarisan Islam. Pekanbaru: Alaf Riau.
Rahman, Drs. Fatchur. 1981. Ilmu Waris. Bandung: Alma’arif.
Shabuni, Syekh Muhammad Ali Ash. 1995. Hukum Waris Menurut AlQuran dan Hadis.
Bandung: Trigenda Karya.
Syarifuddin, Prof. Dr. Amir. 2004. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Prenada Media.
UU RI No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. 2007.
Bandung: Citra Umbara.
Summa, Prof. Muhammad Amin. 2005. Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam. Jakarta:
Rajawali Perss.
Prodjodikoro, Prof. Dr. R. Wirjono. 1988. Hukum Warisan Di Indonesia. Bandunga: Bale.
Soekanto, Soerjono. 2008. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Rajawali Perss.
Prof. H. Adjazuli. MA. 2003. Fiqih Siyasah. Bandung: Kencana.
Hasan, M. Ali. 2004. Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam. Jakarta: Rajawali Perss.

Sabtu, 01 Mei 2010

Demokrasi Islam

Pengertian Demokrasi
Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaanwarga negara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.
Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif,yudikatif danlegislatif ) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (andependent) dan berada dalam peringkat yg sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsipchecks and balances.
Ketiga jenis lembaga-lembaga negara tersebut adalah lembaga-lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan kewenangan eksekutif, lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang menyelenggarakan kekuasaan judikatif dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat (DPR, untuk Indonesia) yang memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan legislatif. Di bawah sistem ini, keputusan legislatif dibuat oleh masyarakat atau oleh wakil yang wajib bekerja dan bertindak sesuai aspirasi masyarakat yang diwakilinya (konstituen) dan yang memilihnya melalui proses PEMILU llegislatif, selain sesuai hukum dan peraturan Selain pemilihan umum legislatif, banyak keputusan atau hasil-hasil penting, misalnya pemilihan presiden suatu negara, diperoleh melalui pemilihan umum. Pemilihan umum tidak wajib atau tidak mesti diikuti oleh seluruh warganegara, namun oleh sebagian warga yang berhak dan secara sukarela mengikuti pemilihan umum. Sebagai tambahan, tidak semua warga negara berhak untuk memilih (mempunyai hak pilih).
Kedaulatan rakyat yang dimaksud di sini bukan dalam arti hanya kedaulatan memilih presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung, tetapi dalam arti yang lebih luas. Suatu pemilihan presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung tidak menjamin negara tersebut sebagai negara demokrasi sebab kedaulatan rakyat memilih sendiri secara langsung presiden hanyalah sedikit dari sekian banyak kedaulatan rakyat. Walapun perannya dalam sistem demokrasi tidak besar, suatu pemilihan umum sering dijuluki pesta demokrasi. Ini adalah akibat cara berpikir lama dari sebagian masyarakat yang masih terlalu tinggi meletakkan tokoh idola, bukan sistem pemerintahan yang bagus, sebagai tokoh impian ratu adil. Padahal sebaik apa pun seorang pemimpin negara, masa hidupnya akan jauh lebih pendek daripada masa hidup suatu sistem yang sudah teruji mampu membangun negara. Banyak negara demokrasi hanya memberikan hak pilih kepada warga yang telah melewati umur tertentu, misalnya umur 18 tahun, dan yang tak memliki catatan kriminal (misal, narapidana atau bekas narapidana).
B. Hakikat Demokrasi Dalam Islam

Demokrasi adalah istilah politik yang berasal dari barat, maka sesungguhnya sesuai pembukaan yang merujuk kepada para pemilik untuk mengetahui makna yang dibangun diatas pengetahuan akan hukum. Sedangkan maksud demokrasi menurut Urf adalah kedaulatan rakyat dan bahwa kedaulatan rakyat itu adalah kekuasaan tertinggi lagi mutlak tanpa dikendalikan dengan kekuasaan lain. Dan kekuasaan ini menjadi hak rakyat dalam memilih pemimpinnya dan haknya dalam pembuatan UUD apa saja yang ia kehendaki.
Pemilu memang ada dan dibolehkan dalam Islam. Sebab, kekuasaan itu ada di tangan umat (as-sulthan li al-ummah). Ini merupakan salah satu prinsip dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah). Prinsip ini terlaksana melalui metode baiat dari pihak umat kepada seseorang untuk menjadi khalifah (Zallum, 2002: 41; Al-Khalidi, 1980: 95). Prinsip ini berarti, seseorang tidak akan menjadi penguasa (khalifah), kecuali atas dasar pilihan dan kerelaan umat. Nah, di sinilah pemilu dapat menjadi salah satu cara (uslûb) bagi umat untuk memilih siapa yang mereka kehendaki untuk menjadi khalifah.
Namun, perlu dipahami, bahwa Pemilu hanyalah cara (uslûb), bukan metode (tharîqah). Cara mempunyai sifat tidak permanen dan bisa berubah-ubah, sedangkan metode bersifat tetap dan tidak berubah-ubah (An-Nabhani, 1973: 92). Lebih detilnya, cara merupakan perbuatan cabang (al-fi‘l al-far‘î) yang tidak mempunyai hukum khusus, yang digunakan untuk menerapkan hukum umum bagi perbuatan pokok (al-fi‘l al-‘ashlî). Cara Amil Zakat mengambil zakat dari muzakki, misalnya apakah dengan jalan kaki atau naik kendaraan; apakah harta zakat dicatat dengan buku atau komputer; apakah harta itu dikumpulkan di satu tempat atau tidak. Semua itu merupakan perbuatan cabang yang tidak memiliki hukum khusus, karena tidak ada dalil khusus yang mengaturnya secara spesifik. Perbuatan cabang itu sudah tercakup oleh dalil umum untuk perbuatan pokok (yaitu mengambil zakat), misalnya dalil QS At-Taubah [9]: 103. Maka dari itu, semua aktivitas tersebut termasuk cara (uslûb) yang hukumnya adalah mubah dan bisa saja berubah-ubah. Yang tidak boleh berubah adalah aktivitas mengambil zakat, sebab ia adalah metode yang sifatnya wajib dan tidak boleh ditinggalkan atau diubah. Termasuk juga metode adalah perbuatan cabang -dari perbuatan pokok- yang memiliki dalil khusus. Misalnya, kepada siapa zakat dibagikan, barang apa saja yang dizakati, dan berapa kadar zakat yang dikeluarkan. Semuanya berlaku secara permanen dan tidak boleh diubah, karena sudah dijelaskan secara rinci sesuai dengan dalil-dalil khusus yang ada (An-Nabhani,1953: 116; Zallum, 2002: 205-206; Al-Mahmud, 1995: 106-107).
Demikian pula dalam masalah pemilihan dan pengangkatan khalifah dalam syariat Islam. Ada metode (tharîqah) yang tetap dan hukumnya wajib; ada pula cara (uslûb) yang bisa berubah dan hukumnya mubah. Dalam hal ini, hanya ada satu metode untuk mengangkat seseorang menjadi khalifah, yaitu baiat yang hukumnya adalah wajib (Abdullah, 1996: 130-131). Dalil wajibnya baiat adalah sabda Rasulullah saw.:
Siapa saja yang mati, sedangkan di lehernya tidak ada baiat, maka dia mati seperti mati Jahiliah. (Hadis sahih. Lihat: Shahîh Muslim, II/240; Majma‘ Az-Zawâ’id, V/223-224; Nayl al-Awthâr,VII/183; Fath al-Bâri, XVI/240).
Rasulullah saw. mencela dengan keras orang yang tidak punya baiat, dengan sebutan "mati Jahiliah". Artinya, ini merupakan indikasi (qarînah), bahwa baiat itu adalah wajib hukumnya (Abdullah, 1996: 131).
Adapun tatacara pelaksanaan baiat (kayfiyah ada’ al-bai’ah), sebelum dilakukannya akad baiat, merupakan uslûb yang bisa berbeda-beda dan berubah-ubah (An-Nabhani, 1973: 92). Dari sinilah, Pemilu (intikhabat) boleh dilakukan untuk memilih khalifah. Sebab, Pemilu adalah salah satu cara di antara sekian cara yang ada untuk melaksanakan baiat, yaitu memilih khalifah yang akan dibaiat.
Mengapa cara pemilihan khalifah boleh berbeda dan berubah, termasuk dibolehkan juga mengambil cara Pemilu? Sebab, ada Ijma Sahabat (kesepakatan sahabat Nabi) mengenai tidak wajibnya ('adamul wujub) untuk berpegang dengan satu cara tertentu untuk mengangkat khalifah (nashbul khalifah), sebagaimana yang terjadi pada masa Khulafaur Rasyidin. Cara yang ditempuh (sebelum baiat) berbeda-beda untuk masing-masing khalifah: Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, ridhwânullâh ‘alayhim. Namun, pada semua khalifah yang empat itu selalu ada satu metode (tharîqah) yang tetap, dan tidak berubah-ubah, yaitu baiat. Baiat inilah yang menjadi satu-satunya metode untuk mengangkat khalifah (nashbul khalifah), tak ada metode lainnya. (Zallum, 2002: 82).
• Pemilihan Khulafaur Rasyidin
Baiat menurut pengertian syariat adalah hak umat untuk melangsungkan akad Khilafah (haq al-ummah fî imdhâ’ ‘aqd al-khilâfah) (Al-Khalidi, 1980: 114; 2002: 26). Baiat ada dua macam: Pertama, baiat in‘iqâd, yaitu baiat akad Khilafah. Baiat ini merupakan penyerahan kekuasaan oleh orang yang membaiat kepada seseorang sehingga kemudian ia menjadi khalifah. Kedua, baiat ath-thâ‘at (atau bay’ah ‘ammah), yaitu baiat dari kaum Muslim yang lainnya kepada khalifah, yang cukup ditampakkan dengan perilaku umat menaati khalifah (Al-Khalidi, 2002: 117-124).
Baiat tersebut merupakan metode yang tetap untuk mengangkat khalifah. Maka dari itu, pada Khulafaur Rasyidin, akan selalu kita jumpai adanya baiat dari umat kepada para khalifahnya masing-masing. Adapun cara-cara praktis pengangkatan khalifah (ijrâ’at at-tanshîb), atau cara (uslûb) yang ditempuh sebelum baiat telah dilangsungkan dengan cara yang berbeda-beda. Dari cara-cara yang pernah dilakukan pada masa Khulafaur Rasyidin, dapat diambil cara-cara pengangkatan khalifah sebagai berikut (Zallum, 2002: 72-85):
Pertama, cara seperti yang terjadi pada pengangkatan Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq, yaitu setelah wafatnya khalifah, dilakukan 5 (lima) langkah berikut: (1) diselengarakan pertemuan (ijtimâ‘) oleh mayoritas Ahlul Halli wal Aqdi; (2) Ahlul Halli wal Aqdi melakukan pencalonan (tarsyîh) bagi satu atau beberapa orang tertentu yang layak untuk menjabat khalifah; (3) dilakukan pemilihan (ikhtiyâr) terhadap salah satu dari calon tersebut; (4) dilakukan baiat in‘iqâd bagi calon yang terpilih; (5) dilakukan baiat ath-thâ‘at oleh umumnya umat kepada khalifah.
Kedua, cara seperti yang terjadi pada pengangkatan Khalifah Umar bin al-Khaththab, yaitu ketika seorang khalifah merasa wafatnya sudah dekat, dia melakukan 2 (dua) langkah berikut, baik atas inisiatifnya sendiri atau atas permintaan umat: (1) khalifah itu meminta pertimbangan (istisyârah) kepada Ahlul Halli wal Aqdi mengenai siapa yang akan menjadi khalifah setelah dia meninggal; (2) khalifah itu melakukan istikhlâf/‘ahd (penunjukkan pengganti) kepada seseorang yang akan menjadi khalifah setelah khalifah itu meninggal. Setelah itu dilakukan dua langkah lagi: (3) calon khalifah yang telah ditunjuk dibaiat dengan baiat in‘iqâd untuk menjadi khalifah; (4) dilakukan baiat ath-thâ‘at oleh umat kepada khalifah.
Ketiga, cara seperti yang terjadi pada pengangkatan Khalifah Utsman bin Affan, yaitu ketika seorang khalifah dalam keadaan sakratulmaut, atas inisiatifnya sendiri atau atas permintaan umat, dia melakukan langkah berikut: (1) khalifah melakukan penunjukkan pengganti (al-‘ahd, al-istikhlâf) bagi beberapa orang yang layak menjadi khalifah, dan memerintahkan mereka agar memilih salah seorang mereka untuk menjadi khalifah setelah dia meninggal, dalam jangka waktu tertentu, maksimal tiga hari. Setelah khalifah meninggal dilakukan langkah: (2) beberapa orang calon khalifah itu melakukan pemilihan (ikhtiyâr) terhadap salah seorang dari mereka untuk menjadi khalifah; (3) mengumumkan nama calon terpilih kepada umat; (4) umat melakukan baiat in‘iqâd kepada calon terpilih itu untuk menjadi khalifah; (5) dilakukan baiat ath-thâ‘at oleh umat secara umum kepada khalifah.
Keempat, cara seperti yang terjadi pada pengangkatan Khalifah Ali bin Abi Thalib, yaitu setelah wafatnya khalifah, dilakukan langkah sebagai berikut: (1) Ahlul Halli wal Aqdi mendatangi seseorang yang layak menjadi khalifah; (2) Ahlul Halli wal Aqdi meminta orang tersebut untuk menjadi khalifah, dan orang itu menyatakan kesediaannya setelah merasakan kerelaan mayoritas umat; (3) umat melakukan baiat in‘iqâd kepada calon itu untuk menjadi khalifah; (4) dilakukan baiat ath-thâ‘at oleh umat secara umum kepada khalifah.
Itulah empat cara pengangkatan khalifah yang diambil dari praktik pada masa Khulafaur Rasyidin. Berdasarkan cara pengangkatan Khulafaur Rasyidin di atas, khususnya pengangkatan Utsman bin Affan, Imam Taqiyuddin An-Nabhani (1963: 137-140) dan Imam Abdul Qadim Zallum (2002: 84-85) lalu mengusulkan satu cara dalam pengangkatan khalifah. Diasumsikan telah ada majelis umat yang merupakan majelis wakil umat dalam melakukan musyawarah dan muhâsabah (pengawasan) kepada penguasa. Cara pengangkatan khalifah ini terdiri dari 4 (empat) langkah:
(1) Para anggota majelis umat yang Muslim melakukan seleksi terhadap para calon khalifah, mengumumkan nama-nama mereka, dan meminta umat Islam untuk memilih salah satu dari mereka. Di sinilah Pemilu bisa dilaksanakan sebagai cara pelaksanaannya.
(2) Majelis umat mengumumkan hasil pemilihan umum (al-intikhâb) dan umat Islam mengetahui siapa yang meraih suara yang terbanyak.
(3) Umat Islam segera membaiat (baiat in‘iqâd) orang yang meraih suara terbanyak sebagai khalifah.
(4) Setelah selesai baiat, diumumkan ke segenap penjuru orang yang menjadi khalifah hingga berita pengangkatannya sampai ke seluruh umat, dengan menyebut nama dan sifat-sifatnya yang membuatnya layak menjadi khalifah.
• Pemilihan Anggota Majelis Umat
Di samping Pemilu untuk memilih khalifah, dalam sistem politik Islam juga ada Pemilu untuk memilih para anggota majelis umat. Jadi, proses untuk menjadi anggota lembaga tersebut adalah melalui pemilihan (al-intikhâbat) oleh umat, bukan melalui pengangkatan/penentuan (at-ta’yin) oleh khalifah. Mengapa melalui pemilihan? Sebab, di sini berlaku akad wakalah (perwakilan). Anggota majelis umat adalah wakil-wakil rakyat dalam penyampaian pendapat (ar-ra‘yu) dan pengawasan kepada penguasa (An-Nabhani, 1990: 90-96). Sedangkan wakil itu tiada lain dipilih oleh yang mewakilinya. Karena itu, anggota majelis umat haruslah dipilih oleh umat, bukan diangkat atau ditentukan oleh khalifah (Zallum, 2002: 221).
Mengingat Pemilu untuk memilih anggota majelis umat adalah akad wakalah, maka implikasinya berbeda dengan akad Khilafah. Dalam akad wakalah, pihak muwakkil (yang mewakilkan) berhak memberhentikan wakilnya (‘azl al-wakil), sebagaimana pihak wakil boleh pula memberhentikan dirinya sendiri. Sebab, akad wakalah adalah akad yang tidak mengikat (al-‘aqd al-ja’izah) (Lihat: Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘alâ al-Mazhâhib al-Arba‘ah, III/148). Maka dari itu, umat memiliki hak untuk memberhentikan para wakilnya di majelis umah. Ini berbeda dengan akad Khilafah, sebab dalam akad Khilafah umat tidak berhak memberhentikan Khalifah (‘azl al-khalîfah). Jadi, meskipun umat yang mengangkat dan membaiat khalifah, tetapi umat tidak berhak memberhentikan khalifah, selama akad baiat telah dilakukan sempurna sesuai dengan syariat. Jika khalifah melanggar syariat Islam, yang berhak memberhentikannya adalah mahkamah mazhalim, yaitu lembaga peradilan (al-qadhâ’) yang bertugas menyelesaikan persengketaan antara umat dan penguasa/negara (Zallum, 2002: 114-115).
• Pemilu dalam sistem Khilafah dengan Pemilu dalam sistem Demokrasi
Ketika Islam membolehkan Pemilu untuk memilih khalifah atau anggota majelis umat, bukan berarti Pemilu dalam Islam identik dengan Pemilu dalam sistem demokrasi sekarang. Dari segi cara/teknis (uslûb), memang boleh dikatakan sama antara Pemilu dalam sistem demokrasi dan Pemilu dalam sistem Islam (An-Nabhani, At-Tafkîr, 1973: 91-92; Urofsky, Demokrasi, 2003: 2).
Namun demikian, dari segi falsafah dasar, prinsip, dan tujuan keduanya sangatlah berbeda; bagaikan bumi dan langit. Pertama, Pemilu dalam demokrasi didasarkan pada falsafah dasar demokrasi itu sendiri, yaitu pemisahan agama dari kehidupan (fashl al-dîn ‘an al-hayâh, secularism) (Al-Khalidi, 1980: 44-45), sedangkan Pemilu dalam Islam didasarkan pada akidah Islam, yang tidak pernah mengenal pemisahan agama dari kehidupan (Yahya Ismail, 1995: 23).
Kedua, Pemilu dalam sistem demokrasi didasarkan pada prinsip kedaulatan di tangan rakyat (as-siyâdah li asy-sya‘b), sehingga rakyat, di samping mempunyai hak memilih penguasa, juga berhak membuat hukum. Sebaliknya, Pemilu dalam Islam didasarkan pada prinsip kedaulatan di tangan syariat (as-siyâdah li asy-syar‘î), bukan di tangan rakyat. Jadi, meskipun rakyat berhak memilih pemimpinnya, kehendak rakyat wajib tunduk pada hukum al-Quran dan as-Sunnah. Rakyat tidak boleh membuat hukum sendiri sebagaimana yang berlaku dalam demokrasi (An-Nahwi, 1985: 37-38; Ash-Shawi, 1996: 69-70; Rais, 2001: 311).
Ketiga, tujuan Pemilu dalam sistem demokrasi adalah memilih penguasa yang akan menjalankan peraturan yang dikehendaki dan dibuat oleh rakyat. Sebaliknya, Pemilu dalam Islam bertujuan untuk memilih penguasa yang akan menjalankan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, bukan menjalankan hukum kufur buatan manusia seperti dalam demokrasi (Zallum, 1990: 1, 1994: 139-140; Belhaj, 1411 : 5).
Jelaslah, pemilu dalam sistem Khilafah, walaupun ada kemiripan, tetap tidak sama dengan pemilu dalam sistem demokrasi saat ini. Ibaratnya adalah seperti babi dan sapi. Keduanya memang ada kemiripannya, misalnya sama-sama berkaki empat. Tapi yang pertama haram sedang yang kedua halal. Perbedaan-perbedaan pemilu dalam sistem demokrasi dan khilafah itulah yang wajib kita cermati, agar kita tidak terjerumus dalam dosa karena ikut-ikutan terlibat dalam praktik sistem demokrasi yang kufur. Wallahu a'lam.

C. Perbedaan Demokrasi Menurut Islam Dan Barat
• Persamaan antara Islam dan Demokrasi
Dr. Dhiyauddin ar Rais mengatakan, Ada beberapa persamaan yang mempertemukan Islam dan demokrasi. Namun, perbedaannya lebih banyak. Persamaannya menyangkut pemikiran sisstem politik tentang hubungan antara umat dan penguasa serta tanggung jawab pemerintahan. Akhirnya, ar Rais sampai pada kesimpulan bahwa antara Islam dan demokrasi tidak hanya memiliki persamaan di bidang politik. Lebih dari itu, unsur-unsur yang terkandung dalam demokrasi dan keistimewaannya pun sudah terkandung di dalam Islam. Dalam menerangkan hal itu, dia mengatakan, Jika yang dimaksud dengan demokrasi seperti definisi Abraham Lincoln: dari rakyat dan untuk rakyat pengertian itu pun ada di dalam sistem negara Islam dengan pengecualian bahwa rakyat harus memahami Islam secara komprehensif. Jika maksud demokrasi adalah adanya dasar-dasar politik atau sosial tertentu (misalnya, asas persamaan di hadapan undang-undang, kebebasan berpikir dan berkeyakinan, realisasi keadilan sosial, atau memberikan jaminan hak-hak tertentu, seperti hak hidup dan bebas mendapat pekerjaan). Semua hak tersebut dijamin dalam Islam
Jika demokrasi diartikan sebagai sistem yang diikuti asas pemisahan kekuasaan, itu pun sudah ada di dalam Islam. Kekuasaan legislatif sebagai sistem terpenting dalam sistem demokrasi diberikan penuh kepada rakyat sebagai satu kesatuan dan terpisah dari kekuasaan Imam atau Presiden. Pembuatan Undang-Undang atau hukum didasarkan pada alQuran dan Hadist, ijma, atau ijtihad. Dengan demikian, pembuatan UU terpisah dari Imam, bahkan kedudukannya lebih tinggi dari Imam. Adapun Imam harus menaatinya dan terikat UU. Pada hakikatnya, Imamah (kepemimpinan) ada di kekuasaan eksekutif yang memiliki kewenangan independen karena pengambilan keputusan tidak boleh didasarkan pada pendapat atau keputusan penguasa atau presiden, jelainkan berdasarka pada hukum-hukum syariat atau perintah Allah Swt.
• Perbedaan antara Islam dan Demokrasi
Menurut Dhiyauddin ar Rais, ada tiga hal yang membedakan Islam dan demokrasi. Pertama, dalam demokrasi yang sudah populer di Barat, definisi bangsa atau umat dibatasi batas wilayah, iklim, darah, suku-bangsa, bahasa dan adat-adat yang mengkristal. Dengan kata lain, demokrasi selalu diiringi pemikiran nasionalisme atau rasialisme yang digiring tendensi fanatisme. Adapun menurut Islam, umat tidak terikat batas wilayah atau batasan lainnya. Ikatan yang hakiki di dalam Islam adalah ikatan akidah, pemikiran dan perasaan. Siapa pun yang mengikuti Islam, ia masuk salah satu negara Islam terlepas dari jenis, warna kulit, negara, bahasa atau batasan lain. Dengan demikian, pandangan Islam sangat manusiawi dan bersifat internasional. Kedua, tujuan-tujuan demokrasi modern Barat atau demokrasi yang ada pada tiap masa adalah tujuan-tujuan yang bersifat duniawi dan material. Jadi, demokrasi ditujukan hanya untuk kesejahteraan umat (rakyat) atau bangsa dengan upaya pemenuhan kebutuhan dunia yang ditempuh melalui pembangunan, peningkatan kekayaan atau gaji. Adapun demokrasi Islam selain mencakup pemenuhan kebutuhan duniawi (materi) mempunyai tujuan spiritual yang lebih utama dan fundamental. Ketiga, kedaulatan umat (rakyat) menurut demokrasi Barat adalah sebuah kemutlakan. Jadi, rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi tanpa peduli kebodohan, kezaliman atau kemaksiatannya. Namun dalam Islam, kedaulatan rakyat tidak mutlak, melainkan terikat dengan ketentuan-ketentuan syariat sehingga rakyat tidak dapat bertindak melebihi batasan-batasan syariat, alQuran dan asSunnah tanpa mendapat sanksi.
Menurut Islam, kekuasaan tertinggi bukan di tangan penguasa karena Islam tidak sama dengan paham otokrasi. Kekuasaan bukan pula di tangan tokoh-tokoh agamanya karena Islam tidak sama dengan teokrasi. Begitupun bukan di tangan UU karena Islam tidak sama dengan nomokrasi atau di tangan umat karena Islam bukan demokrasi dalam pengertian yang sempit. Jawabannya, kekuasaan tertinggi dalam Islam sangat nyata sebagai perpaduan dua hal, yaitu umat dan undang-undang atau syariat Islam. Jadi, syariat pemegang kekuasaan penuh dalam negara Islam. Dr. Dhiyauddin ar Rasi menambahkan, jika harus memakai istilah demokrasi tanpa mengabaikan perbedaan substansialnya sistem itu dapat disebut sebagai demokrasi yang manusiawi, menyeluruh (internasional), religius, etis, spiritual, sekaligus material. Boleh pula disebut sebagai demokrasi Islam atau menurut al Maududy demokrasi teokrasi.
• Demokrasi Islam Dan Barat
Sebenarnya sistem demokrasi saat ini dengan ’demokrasi’ yang dipahami dalam Islam ada persamaan dan ada pula perbedaannya, namun sekali lagi sistem yang dibuat manusia amatlah lemah dan pasti ada cacat. Dalam membahas ini pandangan yang sangat bagus adalah dari seorang pemikir Islam Dr. Dhiya’uddin Ar-Rais. Beliau mengatakan bahwa memang ada persamaan dan perbedaan dari sistem demokrasi yang dipahami yang dipahami sebagaian besar masyarakat saat ini, namun perbedaannyalah yang lebih banyak. Beliau melanjutkan. ” jika yang dimaksud dengan demokrasi – seperti definisi Abraham Linchon : Dari rakyat dan untuk rakyat- pengertian itupun ada di dalam sistem negara Islam dengan pengecualian bahwa rakyat harus memahami Islam secara komperhensif. Jika yang dimaksud Demokrasi adalah adanya dasar- dasar politik atau sosial tertentu ( misalnya, asas persamaan di hadapan undang – undang, kebebasan berfikir dan berkeyakinan, realisasi keadilan sosial, atau memberikan jaminan hak- hak tertentu, seperti hak hidup dan bebas mendapat pekerjaan) semua dijamin dalam Islam. Jika mdemokrasi diartikan sebagai sistem yang diikuti asas pemisahan kekuasaan, itupun sudah ada dalam Islam. Kekuasaan legislatif sebagai sistem terpenting dalam sistem demokrasi diberikan penuh kepada rakyat sebagai satu kesatuan dan terpisah dari kekuasaan Imam tau Presiden. Pembuat Undang – undang (UU) atau hukum didasarkan pada Al- Qur’anm dan Hadist, ijma’, atau ijtihad. Dengan demikian, pembuatan UU terpisah dari Imam, bahakan kedudukannya lebih tinggi dari Imam. Adapun Imam harus mentaatinya dan terikat UU. Pada hakikatnya, kepemimpinan ada di kekuasaan eksekutif yang memiliki kewenangan independent karena pengambilan keputusan tidak boleh didasarkan pada pendapat atau keputusan penguasa atau Presiden, melainkan berdasarkan p[ada hukum – hukum syariat atau perintah Allah SWT.”
Menurut Dhiya’udin Ar-Rais, ada tiga hal yang membedakan Islam dan Demikrasi.. Pertama, demokrasi yang populer di Barat definisi ’bangsa ” atau ”umat” dibatasi wilayah, iklim, darah, suku, bangsa, bahasa, dan adat – istiadat yang mengkristal, sehingga lebih mengarah ke nasionalisme dan rasialisme. Dapaun menurut Islam tidak ada yang membatasi karena yang menyatukakan umat adalah ikatan akidah, pemikiran, dan perasaan. Siapapun yang mengikuti Islam ia masuk salah satu negara Islam terlepas dari jenis, warna, kulit, negara, bahasa, atau batasan lain. Kedua, tujuan Demokrasi menurut orang – oarang barat hanya berorientasi pada kesejahteraan rakyat dengan memenuhi kebutuhan duniawinya saja. Di dalam Islam menyangkup aspek spiritual dan materiil, namun justru aspek spirituil yang lebih diutamakan. Ketiga, kedaulatan umat menurut demokrasi barat adalah sebuah kemutlakan, terlepas rakyatnya bodoh, zalim, bermaksiat. Namun di dalam Islam kedaulatan rakyat tidak mutlak, melainkan terikat pada hukum – hukum Allah. Didalam Islam kekuasaan tertinggi bukan di tangan penguasa karena Islam tidak sama dengan paham otokrasi. Kekuasaan bukan pula di tangan tokoh – tokoh agama karena Islam bukan berpaham teokrasi. Begitupun bukan di tangan Undang _ undang- buatan manusia- karena Islam tidak sama dengan paham nomokrasi. Setidaknya itulah makna demokrasi yang dipahami apara aktivis muslim – termasuk Ikhwanul Muslimin.

Pantun Siak

Sungai siak tiada kawah
Banyak kapal yang melewati
Kota siak memang bermarwah
Tak heran banyak yang meminati


Kalau tuan dan puan ingin pergi belanja
Belilah salak dan mangga muda
Kalau puan dan tuan ingin pergi berwisata
Kota siaklah tujuan utama


Menanam bunga dihalaman istana
Indah bungaya dikala senja
Kota siak kota istana
Menjadi ciri kejayaan bangsa


Kain tenun dari kerajaan siak
Di pakai oleh datuk syarifuddin
Kalau pantun ini kurang berkehendak
Mohon di maafkan lahir dan batin

Kepimpinan Menurut Islam

Apabila berbicara mengenai kepimpinan, Islam menentukan bahawa bidangnya amat luas. Lebih tinggi bidang kepimpinannya lebih besar pula tanggungjawabnya. Pemimpin tidak hanya memimpin di dalam sebuah negara, malah pemimpin dalam islam ialah setiap orang yang diberikan tanggungjawab mengendalikan sesuatu urusan. Oleh kerana setiap orang mempunyai tanggungjawab ini maka setiap orang itu mempunyai peranan memimpin. Contohnya seorang bapa diberi tugas memimpin keluarganya, maka ia adalah pemimpin keluarganya. Begitu juga seorang ketua negara yang diberi tugas memimpin rakyat di negaranya, maka ia adalah pemimpin rakyat di negaranya.

Kepimpinan Menurut Istilah Al-Quran
Dalam Al-Quran terdapat beberapa istilah yang diertikan sebagai pemimpin atau yang secara langsung yang menyentuh hal ehwal kepimpinan, antaranya :

- Imam/Imamah
Merupakan satu jawatan yang berperanan sebagai penunjuk jalan kepada sesuatu arah atau tempat atau memimpin dengan contoh teladan di mana imam itu sendiri mesti melaksanakannya lebih awal dari orang yang dipimpin. Contohnya dalam konteks kewajipan memimpin sembahyang, imam mengangkat takbir dan makmum turut mengangkat takbir sebagaimana imam bertakbir. Begitulah seterusnya dalam segala perbuatan mengerjakan sembahyang itu, apa-apa perlakuan imam mestilah dituruti oleh makmum, oleh itu imam sebagai pemimpin ( leader ) dan makmum sebagai pengikut ( follower ).

- Khalifah
Merupakan suatu jawatan bagi mengantikan seseorang atau mengambil tempat mengikut atau meneruskan. Dalam sejarah kepimpinan Islam, khalifah merupakan penganti Rasulullah S.A.W dalam menerus, mengurus dan mentadbir negara islam.
Khalifah ialah sebagai pentadbir, penguasa, pengatur dan pemakmur yang bertanggugnjawab mengatur kehidupan manusia di bumi dfengan berdasarkan kepada wahyu dan syariat Allah supaya kehidupan manusia itu teratur dan mempunyai tujuan-tujuan hidup yang suci murni lagi mulia untuk mencapai keredhaan allah. Manusia sebagai khalifah ( vicegerent ) yang merupakan wakil Allah di bumi adalah berkewajipan mendirikan institusi kepimpinan yang diredhai oleh Allah.

- Amir Al-Mukminin
Merupakan suatu jawatan atau kedudukan dalam kepimpinan yang bermaksud sebagai memberi arahan, pemberi tugas, pemerintah atau mengamanahkan seseorang dengan tugas. Dalam sejarah pemerintahan islam, Amir Al Mukminin merupakan pemerintah masyarakat atau ketua negara islam.

-Uli Al-Amri
Merupakan suatu jawatan atau kedudukan dalam kepimpinan yang menjalankan tugas dan amanah untuk mentadbir dan mengendalikan urusan dunia sesuai dengan syariat Allah. Oleh sebab itu adalah menjadi kewajipan kepada rakyat mematuhi apa yang diperintahkan oleh Uli Al Amri sebagaimana firman Allah dalam surah An-Nisa’ ayat 59 yang bermaksud :
“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasulullah S.A.W dan kepada Uli Al-Amri ( orang-orang yang berkuasa) dari kalangan kamu. Kemudian jika kamu berbantah-bantah ( berselisihan ) dalam sesuatu perkara, maka hendaklah kamu mengembalikannya kepada (Kitab) Allah (Al-Quran) dan (Sunnah) Rasul-Nya jika kamu benar beriman kepada Allah dan hari akhirat. Yang demikian adalah lebih baik (bagi kamu), dan lebih elok pula kesudahannya.”

Selain daripada itu ada juga istilah yang dipakai bagi maksud yang berkaitan dengan kepimpinan dalam sesuatu kumpulan kerohanian seperti istilah: Mursyid ( penunjuk ), Syeikh ( Ketua ), dan Murabbi ( Pendidik ).

Objektif/Matlamat Kepimpinan
Pada asasnya matlamat kepimpinan adalah :
-Untuk pengabdian/perhambaan diri kepada Allah. Firman Allah dalam Surah Az-Zariyat ayat 56 yang bermaksud:

“Dan tidak Aku ( Allah ) ciptakan manusia melainkan untuk mengabdikan diri kepada aku ( Allah ).

- Untuk mencapai keredhaan, keberkatan dan rahmat dari Allah serta RasulNya. Firman Allah dalam Surah At-Taubat ayat 62 yang bermaksud:

“….Yang sepatutnya mereka cari ialah keredhaan dari Allah dan RasulNya, sekirannya mereka adalah dari orang yang beriman”

- Untuk mencapai kesempurnaan akhlak yang mulia. Firman Allah dalam surah Al-Qalam ayat 4 yang bermaksud:

“Sesungguhnya engkau ( Muhammad ) mempunyai budi pekerti ( akhlak ) yang mulia"

-Untuk menyeru berbuat baik dan mencegah kejahatan
-Untuk mencapai kebahagian, kesenangan, kesejahteraan dan keselamatan manusia sejagat dunia dan akhirat.

Kepimpinan Sejagat

Kepimpinan ( leadership ) nabi Muhammad S.A.W adalah contoh ideal dan praktikal yang semestinya diikuti oleh seluruh umat. Baginda diutuskan untuk membimbing seluruh umat, wilayah kepimpinan baginda meliputi alam sejagat dan tidak dibatasi oleh sempada geografi serta tidak pula dikhususkan oleh sesuatu bangsa, kebangsaan dan negara. Dengan demikian kepimpinan baginda adalah bersifat sejagat. Firman Allah dalam Surah Saba’ ayat 28 yang bermaksud:

“dan tiadalah kami mengutusmu (wahai Muhammad) melainkan untuk umat manusia seluruhnya sebagai Rasul pembawa berita gembira (kepada orang-orang yang beriman) dan pemberi amaran (kepada orang-orang yang ingkar), akan tetapi kebanyakkan manusia tidak mengetahui hakikat itu”

Kepimpinan Sebagai Tanggungjawab Dan Dugaan
Menjadi seorang pemimpin, maka bertambah kewajipan seseortang dan makin banyak soalannya dihadapan Allah. Oleh itu, pemimpin di dalam Islam, bukanlah menjadi rebutan. Rasulullah S.A.W telah meletakkan asas-asas supaya pemimpin itu tidak difahami sebagai keistimewaan tetapi tanggungjawab. Meskipun semakin besar tanggungjawab,semakin besar pula ganjaran baik yang disediakan Allah di hari akhirat kepada sesiapa yang melaksanakan tanggungjawab itu. Namun jika tanggungjawab itu diabaikan,maka besarlah risiko dan akibatnya di hari akhirat.

Oleh itu Rasulullah S.A.W sangat berhati-hati supaya pemimpin itu berada di tangan orang yang kuat dari segi ketaatan kepada Allah, kekuatan peribadi dan jasmani, kepintaran akal dan dihormati oleh rakyat. Baginda berhati-hati supaya jangan pemimpin itu jatuh ke tangan orang yang lemah syakhsiahnya sehingga ia lemah melawan nafsunya. Jika ia seorang yang lemah melawan nafsunya sendiri, maka ia tidak dapat mematuhi allah dan tidak terselamat dari factor-faktor kehancurtan seperti rasuah, maksiat dan lain-lain.

Abu Zar Al-Ghaffari meriwayatkan, saya berkata kepada Rasulullah S.A.W Tidakkah Tuan hendak melantik saya untuk mengetuai sesuatu urusan? Rasulullah S.A.W menepuk bahu saya dan berkata,” wahai Abu Zar, engkau adalah lemah, sedangkan pemimpin itu suatu amanah. Di hari kiamat ia adalah kehinaan dan penyesalan melainkan mereka yang mengambilnya dengan hak dan menunaikan kewajipan yang ditentukan di dalamnya”.

Abu Zar bukanlah seorang yang tidak taat kepada Allah dan dikuasai nafsu tetapi dia adalah seorang manusia yang lemah dalam mengambil tindakan, dia adalah seorang yang lurus hati dan mempunyai kelemahan yang menghalangnya bersikap tegas kepada kawan dan lawan. Itu pun dianggap oleh Rasulullah S.A.W apatah lagi orang yang kalah di hadapan nafsu, jahil dan tidak beramal.

Rasulullah S.A.W juga menetapkan dasar bahawa pemimpin itu tidak diberikan kepada orang tidak berkelayakan yang meminta atau berusaha dengan tipu daya supaya dia dijadikan pemimpin, kerana sikap seperti itu akan menjadikan pemimpin itu satu rebutan dan lahir kegiatan serta pengaruh-mempengaruhi yang menyebabkan pertimbangan yang betul untuk lantikan menjadi kacau bilau dan menyeleweng. Oleh itu lantikan itu hendaklah dijalankan dengan pertimbangan yang objektif dan dengan hasrat yang bersih dan suci.

Justeru dalam kepimpinan sesebuah negara, tegak atau robohnya sesebuah negara, maju atau mundurnya peradaban manusia, timbul atau tenggelamnya sesuatu bangsa adalah bergantung kepada baik atau buruk pentadbiran dan kepimpinan yang dimiliki, Para pemimpin atau ketua yang telah dilantik hendaklah melantik pembantu-pembantu yang jujur dan berkebolehan. Tanda-tanda kejujurannya ialah sentiasa bersikap beriman dan tidak mengampu sehingga membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar. Rasulullah S.A.W bersabda yang bermaksud:

“Apabila Allah S.W.T menghendaki seseorang ketua itu menjadi ketua yang baik, ia akan jadikan pembantunya itu bersikap benar. Jika ia lupa ( lupa kepada Allah dan menyeleweng dari kebenaran ) ia mengingatkannya. Jika ia tidak lupa, ia memberi pertolongan dan bantuan kepada ketuanya itu. Jika Allah menghendaki ketua itu menjadi ketua yang lain daripada itu, dijadikan pembantunya seorang yang jahat, jika ia lupa tidak diingatkanya dan jika ia ingat tidak dibantunya” ( diriwayatkan oleh Abu Daud ).

Oleh kerana tugas pemimpin itu berat dan luas, maka ganjaran baik yang disediakan untuk pemimpin di akhirat yang menjalankan kewajipannya adalah besar. Dianatara tujuh orang yang disebut oleh Rasulullah S.A.W yang akan mendapat perlindungan Allah ialah pemerintah yang adil yang diletakkan di senarai yang pertama. Sebaliknya mereka yang menjadi pemimpin sedangkan dia tidak memiliki ciri-ciri kepimpinan yang selayaknya dan tidak menjalankan kewajipannya maka ia akan menerima balasan yang pedih.Seksaan Allah bertambah berat lagi bagi sesiapa yang menjadikan kedudukannya sebagai pemimpin sebagai jalan untuk kepentingan dirinya dan menipu orang-orang yang dipimpinnya.

Oleh kerana tugas pemimpin adalah besar dan tugas itu tidak dapat dijalankan melainkan dari kerjasama orang yang dipimpinnya maka Allah menentukan supaya orang yang dipimpin itu hendaklah mematuhi ketuanya di dalam semua suruhan yang disukai atau tidak kecuali suruhan untuk melakukan maksiat dan melanggar hukum-hukum Allah.

Penutup
Sesungguhnya setiap orang itu mempunyai tugas-tugas kepimpinan. Sebaik-baik kepimpinan ialah kepimpinan Rasulullah S.A.W kerana kepimpinan baginda sentiasa berpandu kepada wahyu, syariat dan petunjuk Allah dalam kepimpinan sejagat. Sebagai pemimpin sewajarnya bertanggungjawab menyambung risalah baginda ke arah memakmur, memperbaiki, menegakkan keadilan, mententeramkan serta berkesanggupan untuk meningkatkan ketinggian nilai dan martabat seluruh umat manusia. Rasulullah S.A.W bersabda yang bermaksud:

“setiap orang daripada kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin itu bertanggungjawab mengenai apa yang dipimpinnya”(Riwayat Bukhari dan Muslim)


Kepemimpinan

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian
Adapun pengertian dari berbagai para ahli :

1. Kepemimpinan adalah pengaruh antar pribadi, dalam situasi tertentu dan langsung melalui proses komunikasi untuk mencapai satu atau beberapa tujuan tertentu (Tannebaum, Weschler and Nassarik, 1961, 24).

2. Kepemimpinan adalah sikap pribadi, yang memimpin pelaksanaan aktivitas untuk mencapai tujuan yang diinginkan. (Shared Goal, Hemhiel & Coons, 1957, 7).

3. Kepemimpinan adalah suatu proses yang mempengaruhi aktifitas kelompok yang diatur untuk mencapai tujuan bersama (Rauch & Behling, 1984, 46).

4. Kepemimpinan adalah kemampuan seni atau tehnik untuk membuat sebuah kelompok atau orang mengikuti dan menaati segala keinginannya.

5. Kepemimpinan adalah suatu proses yang memberi arti (penuh arti kepemimpinan) pada kerjasama dan dihasilkan dengan kemauan untuk memimpin dalam mencapai tujuan (Jacobs & Jacques, 1990, 281).


Banyak definisi kepemimpinan yang menggambarkan asumsi bahwa kepemimpinan dihubungkan dengan proses mempengaruhi orang baik individu maupun masyarakat. Dalam kasus ini, dengan sengaja mempengaruhi dari orang ke orang lain dalam susunan aktivitasnya dan hubungan dalam kelompok atau organisasi. John C. Maxwell mengatakan bahwa inti kepemimpinan adalah mempengaruhi atau mendapatkan pengikut.


Kepemimpinan berasal dari kata pimpin yang memuat dua hal pokok yaitu:
1. pemimpin sebagai subjek, dan.
2. yang dipimpin sebagai objek.
Pemimpin adalah inti dari manajemen. Ini berarti bahwa manajemen akan tercapai tujuannya jika ada pemimpin. Kepemimpinan hanya dapat dilaksanakan oleh seorang pemimpin. Seorang pemimpin adalah seseorang yang mempunyai keahlian memimpin, mempunyai kemampuan mempengaruhi pendirian/pendapat orang atau sekelompok orang tanpa menanyakan alasan-alasannya. Seorang pemimpin adalah seseorang yang aktif membuat rencana-rencana, mengkoordinasi, melakukan percobaan dan memimpin pekerjaan untuk mencapai tujuan bersama-sama (Panji Anogara, Page 23).
Kata pimpin mengandung pengertian mengarahkan, membina atau mengatur, menuntun dan juga menunjukkan ataupun mempengaruhi. Pemimpin mempunyai tanggung jawab baik secara fisik maupun spiritual terhadap keberhasilan aktivitas kerja dari yang dipimpin, sehingga menjadi pemimpin itu tidak mudah dan tidak akan setiap orang mempunyai kesamaan di dalam menjalankan ke-pemimpinannya.

B. Atribut-atribut Pemimpin
Secara umum atribut personal atau karakter yang harus ada atau melekat pada diri seorang pemimpin adalah:
1. mumpuni, artinya memiliki kapasitas dan kapabilitas yang lebih balk daripada orang-orang yang dipimpinnya,
2. juara, artinya memiliki prestasi balk akademik maupun non akademik yang lebih balk dibanding orang-orang yang dipimpinnya,
3. tangungjawab, artinya memiliki kemampuan dan kemauan bertanggungjawab yang lebih tinggi dibanding orang-orang yang dipimpinnya,
4. aktif, artinya memiliki kemampuan dan kemauan berpartisipasi sosial dan melakukan sosialisasi secara aktif lebih balk dibanding oramg-orang yang dipimpinnya, dan
5. walaupun tidak harus, sebaiknya memiliki status sosial ekonomi yang lebih tinggi disbanding orang-orang yang dipimpinnya.
Meskipun demikian, variasi atribut-atribut personal tersebut bisa berbeda-beda antara situasi organisasi satu dengan organisasi lainnya. Organisasi dengan situasi dan karakter tertentu menuntut pemimpin yang memiliki variasi atribut tertentu pula.
C. TUGAS DAN PERAN KEPEMIMPINAN :
Menurut James A.F Stonen, tugas utama seorang pemimpin adalah
1. Pemimpin bekerja dengan orang lain
Seorang pemimpin bertanggung jawab untuk bekerja dengan orang lain, salah satu dengan atasannya, staf, teman sekerja atau atasan lain dalam organisasi sebaik orang diluar organisasi.

2. Pemimpin adalah tanggung jawab dan mempertanggungjawabkan (akontabilitas).
Seorang pemimpin bertanggungjawab untuk menyusun tugas menjalankan tugas, mengadakan evaluasi, untuk mencapai outcome yang terbaik. Pemimpin bertanggung jawab untuk kesuksesan stafnya tanpa kegagalan.

3. Pemimpin menyeimbangkan pencapaian tujuan dan prioritas
Proses kepemimpinan dibatasi sumber, jadi pemimpin harus dapat menyusun tugas dengan mendahulukan prioritas. Dalam upaya pencapaian tujuan pemimpin harus dapat mendelegasikan tugas-tugasnya kepada staf. Kemudian pemimpin harus dapat mengatur waktu secara efektif,dan menyelesaikan masalah secara efektif.

4. Pemimpin harus berpikir secara analitis dan konseptual
Seorang pemimpin harus menjadi seorang pemikir yang analitis dan konseptual. Selanjutnya dapat mengidentifikasi masalah dengan akurat. Pemimpin harus dapat menguraikan seluruh pekerjaan menjadi lebih jelas dan kaitannya dengan pekerjaan lain.

5. Manajer adalah seorang mediator
Konflik selalu terjadi pada setiap tim dan organisasi. Oleh karena itu, pemimpin harus dapat menjadi seorang mediator (penengah).

6. Pemimpin adalah politisi dan diplomat
Seorang pemimpin harus mampu mengajak dan melakukan kompromi. Sebagai seorang diplomat, seorang pemimpin harus dapat mewakili tim atau organisasinya.

7. Pemimpin membuat keputusan yang sulit
Seorang pemimpin harus dapat memecahkan masalah.

Menurut Henry Mintzberg, Peran Pemimpin adalah :
1. Peran hubungan antar perorangan, dalam kasus ini fungsinya sebagai pemimpin yang dicontoh, pembangun tim, pelatih, direktur, mentor konsultasi.
2. Fungsi Peran informal sebagai monitor, penyebar informasi dan juru bicara.
3. Peran Pembuat keputusan, berfungsi sebagai pengusaha, penanganan gangguan, sumber alokasi, dan negosiator

D. PRINSIP – PRINSIP DASAR KEPEMIMPINAN :
Prinsip, sebagai paradigma terdiri dari beberapa ide utama berdasarkan motivasi pribadi dan sikap serta mempunyai pengaruh yang kuat untuk membangun dirinya atau organisasi. Menurut Stephen R. Covey (1997), prinsip adalah bagian dari suatu kondisi, realisasi dan konsekuensi. Mungkin prinsip menciptakan kepercayaan dan berjalan sebagai sebuah kompas/petunjuk yang tidak dapat dirubah. Prinsip merupakan suatu pusat atau sumber utama sistem pendukung kehidupan yang ditampilkan dengan 4 dimensi seperti; keselamatan, bimbingan, sikap yang bijaksana, dan kekuatan. Karakteristik seorang pemimpin didasarkan kepada prinsip-prinsip (Stephen R. Coney) sebagai berikut:


1. Seorang yang belajar seumur hidup
Tidak hanya melalui pendidikan formal, tetapi juga diluar sekolah. Contohnya, belajar melalui membaca, menulis, observasi, dan mendengar. Mempunyai pengalaman yang baik maupun yang buruk sebagai sumber belajar.

2. Berorientasi pada pelayanan
Seorang pemimpin tidak dilayani tetapi melayani, sebab prinsip pemimpin dengan prinsip melayani berdasarkan karir sebagai tujuan utama. Dalam memberi pelayanan, pemimpin seharusnya lebih berprinsip pada pelayanan yang baik.

3. Membawa energi yang positif
Setiap orang mempunyai energi dan semangat. Menggunakan energi yang positif didasarkan pada keikhlasan dan keinginan mendukung kesuksesan orang lain. Untuk itu dibutuhkan energi positif untuk membangun hubungan baik. Seorang pemimpin harus dapat dan mau bekerja untuk jangka waktu yang lama dan kondisi tidak ditentukan. Oleh karena itu, seorang pemimpin harus dapat menunjukkan energi yang positif, seperti ;

a. Percaya pada orang lain
Seorang pemimpin mempercayai orang lain termasuk staf bawahannya, sehingga mereka mempunyai motivasi dan mempertahankan pekerjaan yang baik. Oleh karena itu, kepercayaan harus diikuti dengan kepedulian.
b. Keseimbangan dalam kehidupan
Seorang pemimpin harus dapat menyeimbangkan tugasnya. Berorientasi kepada prinsip kemanusiaan dan keseimbangan diri antara kerja dan olah raga, istirahat dan rekreasi. Keseimbangan juga berarti seimbang antara kehidupan dunia dan akherat.

c. Melihat kehidupan sebagai tantangan
Kata ‘tantangan’ sering di interpretasikan negatif. Dalam hal ini tantangan berarti kemampuan untuk menikmati hidup dan segala konsekuensinya. Sebab kehidupan adalah suatu tantangan yang dibutuhkan, mempunyai rasa aman yang datang dari dalam diri sendiri. Rasa aman tergantung pada inisiatif, ketrampilan, kreatifitas, kemauan, keberanian, dinamisasi dan kebebasan.

d. Sinergi
Orang yang berprinsip senantiasa hidup dalam sinergi dan satu katalis perubahan. Mereka selalu mengatasi kelemahannya sendiri dan lainnya. Sinergi adalah kerja kelompok dan memberi keuntungan kedua belah pihak. Menurut The New Brolier Webster International Dictionary, Sinergi adalah satu kerja kelompok, yang mana memberi hasil lebih efektif dari pada bekerja secara perorangan. Seorang pemimpin harus dapat bersinergis dengan setiap orang atasan, staf, teman sekerja.

e. Latihan mengembangkan diri sendiri
Seorang pemimpin harus dapat memperbaharui diri sendiri untuk mencapai keberhasilan yang tinggi. Jadi dia tidak hanya berorientasi pada proses. Proses daalam mengembangkan diri terdiri dari beberapa komponen yang berhubungan dengan: (1) pemahaman materi; (2) memperluas materi melalui belajar dan pengalaman; (3) mengajar materi kepada orang lain; (4) mengaplikasikan prinsip-prinsip; (5) memonitoring hasil; (6) merefleksikan kepada hasil; (7) menambahkan pengetahuan baru yang diperlukan materi; (8) pemahaman baru; dan (9) kembali menjadi diri sendiri lagi.

Mencapai kepemimpinan yang berprinsip tidaklah mudah, karena beberapa kendala dalam bentuk kebiasaan buruk, misalnya: (1) kemauan dan keinginan sepihak; (2) kebanggaan dan penolakan; dan (3) ambisi pribadi. Untuk mengatasi hal tersebut, memerlukan latihan dan pengalaman yang terus-menerus. Latihan dan pengalaman sangat penting untuk mendapatkan perspektif baru yang dapat digunakan sebagai dasar dalam pengambilan keputusan.


E. GAYA KEPEMIMPINAN
a. Gaya Kepemimpinan Demokratis :
Kepemimpinan demokratis menempatkan manusia sebagai faktor utama dan terpenting dalam setiap kelompok/organisasi. Gaya kepemimpinan demokratis diwujudkan dengan dominasi perilaku sebagai pelindung dan penyelamat dan perilaku yang cenderung memajukan dan mengembangkan organisasi/kelompok. Di samping itu diwujudkan juga melalui perilaku kepemimpinan sebagai pelaksana (eksekutif).
Dengan didominasi oleh ketiga perilaku kepemimpinan tersebut, berarti gaya ini diwarnai dengan usaha mewujudkan dan mengembangkan hubungan manusiawi (human relationship) yang efektif, berdasarkan prinsip saling menghormati dan menghargai antara yang satu dengan yang lain. Pemimpin memandang dan menempatkan orang-orang yang dipimpinnya sebagai subjek, yang memiliki kepribadian dengan berbagai aspeknya, seperti dirinya juga. Kemauan, kehendak, kemampuan, buah pikiran, pendapat, minat/perhatian, kreativitas, inisiatif, dan lain-lain yang berbeda-beda antara yang satu dengan yang lain selalu dihargai dan disalurkan secara wajar.
Berdasarkan prinsip tersebut di atas, dalam gaya kepemimpinan ini selalu terlihat usaha untuk memanfaatkan setiap orang yang dipimpin. Proses kepemimpinan diwujudkan dengan cara memberikan kesempatan yang luas bagi anggota kelompok/organisasi untuk berpartisipasi dalam setiap kegiatan. Partisipasi itu disesuaikan dengan posisi/jabatan masing-masing, di samping memperhatikan pula tingkat dan jenis kemampuan setiap anggota kelompok/organisasi. Para pemimpin pelaksana sebagai pembantu pucuk pimpinan, memperoleh pelimpahan wewenang dan tanggung jawab, yang sama atau seimbang pentingnya bagi pencapaian tujuan bersama. Sedang bagi para anggota kesempatan berpartisipasi dilaksanakan dan dikembangkan dalam berbagai kegiatan di lingkungan unit masing-masing, dengan mendorong terwujudnya kerja sama, baik antara anggota dalam satu maupun unit yang berbeda. Dengan demikian berarti setiap anggota tidak saja diberi kesempatan untuk aktif, tetapi juga dibantu dalam mengembangkan sikap dan kemampuannya memimpin. Kondisi itu memungkinkan setiap orang siap untuk dipromosikan menduduki posisi/jabatan pemimpin secara berjenjang, bilamana terjadi kekosongan karena pensiun, pindah, meninggal dunia, atau sebab-sebab lain.
Kepemimpinan dengan gaya demokratis dalam mengambil keputusan sangat mementingkan musyawarah, yang diwujudkan pada setiap jenjang dan di dalam unit masing-masing. Dengan demikian dalam pelaksanaan setiap keputusan tidak dirasakan sebagai kegiatan yang dipaksakan, justru sebaliknya semua merasa terdorong mensukseskannya sebagai tanggung jawab bersama. Setiap anggota kelompok/organisasi merasa perlu aktif bukan untuk kepentingan sendiri atau beberapa orang tertentu, tetapi untuk kepentingan bersama. Aktivitas dirasakan sebagai kebutuhan dalam mewujudkan partisipasi, yang berdampak pada perkembangan dan kemajuan kelompok/organisasi secara keseluruhan. Tidak ada perasaan tertekan dan takut, namun pemimpin selalu dihormati dan disegani secara wajar

b. Gaya Kepemimpinan Otoriter
Kepemimpinan otoriter merupakan gaya kepemimpinan yang paling tua dikenal manusia. Oleh karena itu gaya kepemimpinan ini menempatkan kekuasaan di tangan satu orang atau sekelompok kecil orang yang di antara mereka tetap ada seorang yang paling berkuasa. Pemimpin bertindak sebagai penguasa tunggal. Orang-orang yang dipimpin yang jumlahnya lebih banyak, merupakan pihak yang dikuasai, yang disebut bawahan atau anak buah. Kedudukan bawahan semata-mata sebagai pelaksana keputusan, perintah, dan bahkan kehendak pimpinan. Pemimpin memandang dirinya lebih, dalam segala hal dibandingkan dengan bawahannya. Kemampuan bawahan selalu dipandang rendah, sehingga dianggap tidak mampu berbuat sesuatu tanpa perintah. Perintah pemimpin sebagai atasan tidak boleh dibantah, karena dipandang sebagai satu-satunya yang paling benar. Pemimpin sebagai penguasa merupakan penentu nasib bawahannya. Oleh karena itu tidak ada pilihan lain, selain harus tunduk dan patuh di bawah kekuasaan sang pemimpin. Kekuasaan pimpinan digunakan untuk menekan bawahan, dengan mempergunakan sanksi atau hukuman sebagai alat utama. Pemimpin menilai kesuksesannya dari segi timbulnya rasa takut dan kepatuhan yang bersifat kaku.
Kepemimpinan dengan gaya otoriter banyak ditemui dalam pemerintahan Kerajaan Absolut, sehingga ucapan raja berlaku sebagai undang-undang atau ketentuan hukum yang mengikat. Di samping itu sering pula terlihat gaya dalam kepemimpinan pemerintahan diktator sebagaimana terjadi di masa Nazi Jerman dengan Hitler sebagai pemimpin yang otoriter.
c.. Gaya Kepemimpinan Bebas dan Gaya Kepemimpinan Pelengkap
Kepemimpinan Bebas merupakan kebalikan dari tipe atau gaya kepemimpinan otoriter. Dilihat dari segi perilaku ternyata gaya kepemimpinan ini cenderung didominasi oleh perilaku kepemimpinan kompromi (compromiser) dan perilaku kepemimpinan pembelot (deserter). Dalam prosesnya ternyata sebenarnya tidak dilaksanakan kepemimpinan dalam arti sebagai rangkaian kegiatan menggerakkan dan memotivasi anggota kelompok/organisasinya dengan cara apa pun juga. Pemimpin berkedudukan sebagai simbol. Kepemimpinannya dijalankan dengan memberikan kebebasan penuh pada orang yang dipimpin dalam mengambil keputusan dan melakukan kegiatan (berbuat) menurut kehendak dan kepentingan masing-masing, baik secara perseorangan maupun berupa kelompok-kelompok kecil. Pemimpin hanya memfungsikan dirinya sebagai penasihat, yang dilakukan dengan memberi kesempatan untuk berkompromi atau bertanya bagi anggota kelompok yang memerlukannya. Kesempatan itu diberikan baik sebelum maupun sesudah anggota yang bersangkutan menetapkan keputusan atau melaksanakan suatu kegiatan.
Kepemimpinan dijalankan tanpa berbuat sesuatu, karena untuk bertanya atau tidak (kompromi) tentang sesuatu rencana keputusan atau kegiatan, tergantung sepenuhnya pada orang-orang yang dipimpin. Dalam keadaan seperti itu setiap terjadi kekeliruan atau kesalahan, maka pemimpin selalu berlepas tangan karena merasa tidak ikut serta menetapkannya menjadi keputusan atau kegiatan yang dilaksanakan kelompok/organisasinya. Pemimpin melepaskan diri dari tanggung jawab (deserter), dengan menuding bahwa yang salah adalah anggota kelompok/organisasinya yang menetapkan atau melaksanakan keputusan dan kegiatan tersebut. Oleh karena itu bukan dirinya yang harus dan perlu diminta pertanggungjawaban telah berbuat kekeliruan atau kesalahan. Sehubungan dengan itu apabila tidak seorang pun orang-orang yang dipimpin atau bawahan yang mengambil inisiatif untuk menetapkan suatu keputusan dan tidak pula melakukan sesuatu kegiatan, maka kepemimpinan dan keseluruhan kelompok/organisasi menjadi tidak berfungsi. Kebebasan dalam menetapkan suatu keputusan atau melakukan suatu kegiatan dalam tipe kepemimpinan ini diserahkan sepenuhnya pada orang-orang yang dipimpin.
Oleh karena setiap manusia mempunyai kemauan dan kehendak sendiri, maka akan berakibat suasana kebersamaan tidak tercipta, kegiatan menjadi tidak terarah dan simpang siur. Wewenang tidak jelas dan tanggung jawab menjadi kacau, setiap anggota saling menunggu dan bahkan saling salah menyalahkan apabila diminta pertanggungjawaban.
Gaya atau perilaku kepemimpinan yang termasuk dalam tipe kepemimpinan bebas ini antara lain
1. Kepemimpinan Agitator
Tipe kepemimpinan ini diwarnai dengan kegiatan pemimpin dalam bentuk tekanan, adu domba, memperuncing perselisihan, menimbulkan dan memperbesar perpecahan/pertentangan dan lain-lain dengan maksud untuk memperoleh keuntungan bagi dirinya sendiri. Agitasi yang dilakukan terhadap orang luar atau organisasi lain, adalah untuk mendapatkan keuntungan bagi organisasinya dan bahkan untuk kepentingan pemimpin sendiri.
2. Kepemimpinan Simbol
3. Tipe kepemimpinan ini menempatkan seorang pemimpin sekedar sebagai lambang atau simbol, tanpa menjalankan kegiatan kepemimpinan yang sebenarnya.
Di samping gaya kepemimpinan demokratis, otokrasi maupun bebas maka pada kenyataannya sulit untuk dibantah bila dikatakan terdapat beberapa gaya atau perilaku kepemimpinan yang tidak dapat dikategorikan ke dalam salah satu tipe kepemimpinan tersebut. Sehubungan dengan itu sekurang kurangnya terdapat lima gaya atau perilaku kepemimpinan seperti itu. Kelima gaya atau perilaku kepemimpinan itu adalah
1. Gaya atau Perilaku Kepemimpinan Ahli (Expert)
2. Gaya atau Perilaku Kepemimpinan Kharismatik
3. Gaya atau Perilaku Kepemimpinan Paternalistik
4. Gaya atau Perilaku Kepemimpinan Pengayom
5. Gaya atau Perilaku Kepemimpinan Tranformasional

F. KEKUASAAN DAN KONFLIK DALAM KEPEMIMPINAN :
a. Kekuasaan
Kekuasaan dapat didefinisikan sebagai suatu potensi pengaruh dari seorang pemimpin. Kekuasaan seringkali dipergunakan silih berganti dengan istilah pengaruh dan otoritas.Berbagai sumber dan jenis kekuasaan dari beberapa teoritikus seperti French dan Raven, Amitai Etzioni, Kenneth W. Thomas, Organ dan Bateman, dan Stepen P Robbins telah dikemukakan dalam kegiatan belajar ini. Kekuasaan merupakan sesuatu yang dinamis sesuai dengan kondisi yang berubah dan tindakan-tindakan para pengikut. Berkaitan dengan hal ini telah dikemukakan social exchange theory, strategic contingency theory dan proses-proses politis sebagai usaha untuk mempertahankan, melindungi dan me-ningkatkan kekuasaan.
Dalam kaitan dengan kekuasaan, para pemimpin membutuhkan kekuasaan tertentu agar efektif. Keberhasilan pemimpin sangat tergantung pada cara penggunaan kekuasaan. Pemimpin yang efektif kemungkinan akan menggunakan kekuasaan dengan cara yang halus, hati-hati, meminimalisasi perbedaan status dan menghindari ancaman- ancaman terhadap rasa harga diri para pengikut.

b. Pengaruh
Pengaruh sebagai inti dari kepemimpinan merupakan kemampuan seseorang untuk mengubah sikap, perilaku orang atau kelompok dengan cara-cara yang spesifik. Seorang pemimpin yang efektif tidak hanya cukup memiliki kekuasaan, tetapi perlu pula mengkaji proses-proses mempengaruhi yang timbal balik yang terjadi antara pemimpin dengan yang dipimpin.
Para teoretikus telah mengidentifikasi berbagai taktik mempengaruhi yang berbeda-beda seperti persuasi rasional, permintaan berinspirasi, pertukaran, tekanan, permintaan pribadi, menjilat, konsultasi, koalisi, dan taktik mengesahkan. Pilihan taktik mempengaruhi yang akan digunakan oleh seorang pemimpin dalam usaha mempengaruhi para pengikutnya tergantung pada beberapa aspek situasi tertentu. Pada umumnya, para pemimpin lebih sering menggunakan taktik-taktik mempengaruhi yang secara sosial dapat diterima, feasible, memungkinkan akan efektif untuk suatu sasaran tertentu, memungkinkan tidak membutuhkan banyak waktu, usaha atau biaya. Efektivitas masing-masing taktik mempengaruhi dalam usaha untuk memperoleh komitmen dari para pengikut antara lain tergantung pada keterampilan pemimpin, jenis permintaan serta position dan personal power pemimpin tersebut.
c. Konflik :
Konflik dapat didefinisikan sebagai suatu proses di mana sebuah usaha dibuat dengan sengaja oleh seseorang atau suatu unit untuk menghalangi pihak lain yang menghasilkan kegagalan pencapaian tujuan pihak lain atau meneruskan kepentingannya.
Ada beberapa pandangan tentang konflik yaitu pandangan tradisional, netral dan interaksionis. Pandangan tradisional mengatakan bahwa konflik itu negatif, pandangan netral menganggap bahwa konflik adalah ciri hakiki tingkah laku manusia yang dinamis, sedangkan interaksionis mendorong terjadinya konflik.
Untuk mengurangi, memecahkan dan menstimulasi konflik ada beberapa pendekatan atau strategi yang dapat ditempuh sebagaimana disarankan oleh beberapa teoretikus.

G. APLIKASI KEPEMIMPINAN DALAM ORGANISASI
a. Kepemimpinan, Organisasi dan Perubahan Lingkungan
Ada tiga jenis perubahan yaitu perubahan rutin, perubahan pengembangan, dan inovasi. Mengelola perubahan adalah hal yang sulit. Ukuran kapasitas kepemimpinan seseorang salah satu diantaranya adalah kemampuannya dalam mengelola perubahan. Kemampuan ini penting sebab pada masa kini pemimpin, akan selalu dihadapkan pada perubahan-perubahan, sehingga pemimpin dituntut untuk mampu menyesuaikan dengan perubahan lingkungan. Pemimpin yang kuat bahkan mampu mempelopori perubahan lingkungan. Ada empat tahap yang harus dilakukan agar pemimpin dapat mengelola perubahan lingkungan. Tahap-tahap tersebut adalah pertama, mengidentifikasi perubahan; Kedua, Menilai posisi organisasi; Ketiga, Merencanakan dan melaksanakan perubahan; dan Keempat, Melakukan evaluasi. Untuk memperoleh hasil yang diharapkan maka keempat langkah tersebut perlu dilakukan secara berurutan dan berkesinambungan.

b. Kepemimpinan dan Budaya Organisasi
Tugas utama seorang pemimpin adalah mengajak orang untuk menyumbangkan bakatnya secara senang hati dan bersemangat untuk kepentingan organisasi. Dengan demikian pemimpin atau manajer harus mengarahkan perilaku para anggota organisasi agar tujuan organisasi dapat tercapai. Para pemimpin perlu membentuk, mengelola, meningkatkan, dan mengubah budaya kerja organisasi. Untuk melaksanakan tugas tersebut, manajer perlu menggunakan kemampuannya dalam membaca kondisi lingkungan organisasi, menetapkan strategi organisasi, memilih teknologi yang tepat, menetapkan struktur organisasi yang sesuai, sistem imbalan dan hukuman, sistem pengelolaan sumberdaya manusia, sistem dan prosedur kerja, dan komunikasi serta motivasi.
Salah satu cara mengembangkan budaya adalah dengan menetapkan visi yang jelas dan langkah yang strategis, mengembangkan alat ukur kinerja yang jelas, menindaklanjuti tujuan yang telah dicapai, menetapkan sistem imbalan yang adil, menciptakan iklim kerja yang lebih terbuka dan transparan, mengurangi permainan politik dalam organisasi, dan mengembangkan semangat kerja tim melalui pengembangan nilai-nilai inti.
c. kepemimpinan dan Inovasi
Inovasi berbeda dengan kreativitas. Kreativitas lebih berfokus pada penciptaan ide sedangkan inovasi berfokus pada bagaimana mewujudkan ide. Karena inovasi adalah proses mewujudkan ide, maka diperlukan dukungan dari faktor-faktor organisasional dan leaderships. Dalam membahas inovasi paling tidak ada duabelas tema umum yang berkaitan dengan pembahasan tentang inovasi yaitu kreativitas dan inovasi, karakteristik umum orang-orang kreatif, belajar atau bakat, motivasi, hambatan untuk kreatif dan budaya organisasi, struktur organisasi, struktur kelompok, peranan pengetahuan, kreativitas radikal atau inkrimental, struktur dan tujuan,proses, dan penilaian. Kemampuan organisasi dalam mengelola keduabelas tema tersebut akan menentukan keberhasilannya dalam melakukan inovasi.
Inovasi berkaitan erat dengan proses penciptaan pengetahuan. Proses penciptaan pengetahuan dilakukan dengan melakukan observasi atas kejadian, mengolahnya menjadi data, lalu data dijadikan informasi, dan informasi diberikan konteks sehingga menjadi pengetahuan. Pengetahuan inilah yang oleh pemimpin dijadikan arah atau bekal untuk melakukan inovasi. Organisasi yang mampu secara terus menerus melakukan penciptaan pengetahuan disebut sebagai learning organization.