Sabtu, 01 Mei 2010

PERUSAHAAN YANG MERUGIKAN MASYARAKAT TEMPATAN

BAB I
PENDAHULUAN

Pengalaman beberapa negara berkembang khususnya negara-negara latin yang gandrung memakai teknologi dalam industri yang ditransfer dari negara-negara maju (core industry) untuk pembangunan ekonominya seringkali berakibat pada terjadinya distorsi tujuan. Keadaan ini terjadi karena aspek-aspek dasar dari manfaat teknologi bukannya dinikmati oleh negara importir, tetapi memakmurkan negara pengekpor atau pembuat teknologi. Negara pengadopsi hanya menjadi komsumen dan ladang pembuangan produk teknologi karena tingginya tingkat ketergantungan akan suplai berbagai jenis produk teknologi dan industri dari negara maju Alasan umum yang digunakan oleh negara-negara berkembang dalam mengadopsi teknologi (iptek) dan industri, searah dengan pemikiran Alfin Toffler maupun John Naisbitt yang meyebutkan bahwa untuk masuk dalam era globalisasi dalam ekonomi dan era informasi harus melewati gelombang agraris dan industrialis. Hal ini didukung oleh itikad pelaku pembangunan di negara-negara untuk beranjak dari satu tahapan pembangunan ke tahapan pembangunan berikutnya.
Tetapi akibat tindakan penyesuaian yang harus dipenuhi dalam memenuhi permintaan akan berbagai jenis sumber daya (resources), agar proses industri dapat menghasilkan berbagai produk yang dibutuhkan oleh manusia, seringkali harus mengorbankan ekologi dan lingkungan hidup manusia. Hal ini dapat kita lihat dari pesatnya perkembangan berbagai industri yang dibangun dalam rangka peningkatan pendapatan (devisa) negara dan pemenuhan berbagai produk yang dibutuhkan oleh manusia.
Disamping itu, iptek dan teknologi dikembangkan dalam bidang antariksa dan militer, menyebabkan terjadinya eksploitasi energi, sumber daya alam dan lingkungan yang dilakukan untuk memenuhi berbagai produk yang dibutuhkan oleh manusia dalam kehidupannya sehari-hari.
Gejala memanasnya bola bumi akibat efek rumah kaca (greenhouse effect) akibat menipisnya lapisan ozone, menciutnya luas hutan tropis, dan meluasnya gurun, serta melumernnya lapisan es di Kutub Utara dan Selatan Bumi dapat dijadikan sebagai indikasi dari terjadinya pencemaran lingkungan kerena penggunaan energi dan berbagai bahan kimia secara tidak seimbang (Toruan, dalam Jakob Oetama, 1990: 16 - 20). Selain itu, terdapat juga indikasi yang memperlihatkan tidak terkendalinya polusi dan pencemaran lingkungan akibat banyak zat-zat buangan dan limbah industri dan rumah tangga yang memperlihatkan ketidak perdulian terhadap lingkungan hidup. Akibat-akibat dari ketidak perdulian terhadap lingkungan ini tentu saja sangat merugikan manusia, yang dapat mendatangkan bencana bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu, masal pencemaran lingkungan baik oleh karena industri maupun komsumsi manusia, memerlukan suatu pola sikap yang dapat dijadikan sebagai modal dalam mengelola dan menyiasati permasalahan lingkungan.
Pengertian dan persepsi yang berbeda mengenai masalah lingkungan hidup sering menimbulkan ketidak harmonisan dalam pengelolaan lingkungan hidup. Akibatnya seringkali terjadi kekurang tepatan dalam menerapkan berbagai perangkat peraturan, yang justru menguntungkan perusak lingkungan dan merugikan masyaakat dan pemerintah.
Itikad penanganan dan pemecahan masalah lingkungan telah ditunjukan oleh pemerintah melalui Kantor Menteri Lingkungan Hidup yang mempersyaratkan seluruh bentuk kegiatan industri harus memenuhi ketentuan Amdal dan menata hasil buangan industri baik dalam bentuk padat, cair maupun gas. Disamping itu, berbagai seruan dan ajakan telah disampaikan kepada konsumen dan rumah tangga pengguna produk industri yang buangannya tidak dapat diperbaharui ataupun didaur ulang.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, tulisan ini secara khusus akan membahas permasalahan: 1). Bagaimana kontribusi industri dan teknologi yang menyebar terhadap pencemaran lingkungan, 2). Bagaimana klasifikasi pencemaran lingkungan dan, 3). Bagaimana menyikapi terjadinya pencemaran lingkungan hidup.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Perusahaan
Perusahaan adalah tempat terjadinya kegiatan produksi dan berkumpulnya semua faktor produksi. Setiap perusahaan ada yang terdaftar di pemerintah dan ada pula yang tidak. Bagi perusahaan yang terdaftar di pemerintah, mereka mempunyai badan usaha untuk perusahaannya. Badan usaha ini adalah status dari perusahaan tersebut yang terdaftar di pemerintah secara resmi.
Menyusul suksesnya model perusahaan dalam tingkatan nasional, banyak perusahaan telah menjadi transnasional atau perusahaan multinasional: tumbuh melewati batasan nasional untuk mendapatkan posisi kuasa dan pengaruh yang luar biasa dalam proses globalisasi.
Biasanya perusahaan transnasional atau multinasional dapat masuk ke pemilikan dan pengaturan bertumpuk, dengan banyak cabang dan garis di berbagai daerah, banyak sub-grup terdiri dari perusahaan dengan hak mereka sendiri.
Dalam penyebaran perusahaan dalam banyak benua, pentingya budaya perusahaan telah tumbuh sebagai faktor penyatu dan penambah ke sensibilitas dan kewaspadaan budaya lokal nasional.
B. Landasan Teori Perusahaan
Hukum dagang merupakan hukum perikatan yang timbul khusu dari lapangan perusahaan. Istilah “perusahaan” baru kemudian timbulnya, sedangkan sebelumitu yang lazim ialah istilah “perdagangan”.
Telah diuraikan bahwa istilah “perdagangan” dalam KUHD dihapus, diganti dengan istilah “perusahaan”. Jiak pengertian perdagangan dapat ditemuakn dalam pasal-pasal 2 sampai 5 (lama) KUHD, sebaliknya pengertian “perusahaan” tidak terdapat dalam KUHD. Hal ini memang sengaja dilakukan oleh pembentuk undang-undang, tidak mengadakan penafsiran resmi dalam KUHD, agar pengertian perusahaan dapat berkembang baik sesuai dengan gerak langkah dalam lalu-lintas perusahaan sendiri. Terserah pada ilmiah dan juriprudensi tentang perkembangan selanjutnya. Mengenai pengertianperusahaan ini dalami;lmiah terdapat beberapa pendapat, yang penting diantaranya ialah :
1. menurut pemerintah Belanda, yang pada waktu membacakan “memorie van toelichting” rencana undang-undang “Wetboek van Koophandle” di muka Parlemen, menerangkan bahwa yang disebut “perusahaan” ialah keseluruhan perbuatan, yang dilakukan secara tidak terputus-putus, dengan terang-terangan, dalam kedudukan tertentu dan untuk mencari laba (bagi diri sendiri);
2. menurut Prof. Molengraff, perusahaan adalah keseluruhan perbuatan yang dilakukan secara terus menerus, bertindak keluar, untuk mendapatkan penghasilan, dengan cara memperniagakan barang-barang, menyerahkan barang-barang, atau mengadakan perjanjian-perjanjian perdagangan. Di sini Molengraff memandang perusahaan dari sudut “ekonomi”;
3. menurut Polak, baru ada perusahaan, bila diperlukan adanya perhitungan-perhitungan tentang laba-rugi yang dapat diperkirakan, dan segala sesuatu itu dicatat dalam pembukuan. Di sini Polak memandang perusahaan dari sudut “komersiil”. Sudut pandang ini adalah sama dengan Molengraff, tetapi unsur pengertian perusahaan adalah lain. Pengertian perusahaan menurut molengraff mempunyai enam unsur, sedangkan menurut Polak cukup dua unsur.
C. Perusahaan Swasta dan Perusahaan Negara
Kita mengetahui dalam masyarakat terdapat macam-macam perusahaan, yakni :
1. Perusahaan Swasta, yaitu perusahaan yang modalnya seluruhnya dimiliki oleh swasta dan tidak ada campur tangan Pemerintah.
Perusahaan swasta ini ada tiga macam, yaitu :
a. Perusahaan swasta nasional, yaitu perusahaan swasta milik warga Negara Indonesia ;
b. Perusahaan swasta-asing, yaitu perusahaan swasta milik warga Negara asing ;
c. Perusahaan swasta campuran (joint-venture), yaitu perusahaan swasta milik warga negara Indonesia dan warga negara asing ;
2. Perusahaan Negara, yaitu perusahaan yang modalnya seluruhnya milik Negara Indonesia. Mengenai jenis perusahaan ini juga ada bermacam-macam, yaitu :
a. Perusahaan Negara berdasarkan IBW (Indonesisch Bedrijven Wet, S. 1927 – 419 bsd S. 1936 – 445). Perusahaan ini tiap-tiap tahun mendapat pinjaman uang dengan bunga dari Pemerintah, misalnya DKA (Jawatan Kereta Api) dulu, dengan keuangan yang otonom. DKA ini selanjutnya menjadi PNKA (Perusahaan Negara Kereta Api), yang dibentuk dengan PP No. 22 tahun 1963 (LN 1963 – 43), dan sekarang PNKA ini menjadi PJKA (Perusahaan Jawatan Kereta Api), yang dibentuk dengan PP No. 61 tahun 1971 (LN 1971 – 75).
b. Perusahaan Negara berdasarkan ICW (Indonesisch Compabiliteits Wet, S. 1925 – 448). Perusahaan Negara macam ini tidak mempunyai keuangan yang otonom (keuangan sendiri). Keuangannya merupakan bagian dari keuangan Negara pada umunya, misalnya : Jawatan Pegadaian Negara. Perusahaan ini menjadi perusahaan Negara berdasarkan PP No. 178 tahun 1961 (LN 1961 - 209), dan akhirnya menjadi perusahaan jawatan (Perjan Pegadaian) berdasarkan PP No. 7 tahun 1969 (LN 1969 – 9).
c. Perusahaan Negara berdasarkan Undang-Undang Nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda, yaitu Undang-undang No. 86 tahun 1958 (LN 1958 – 162) ;
d. Perusahaan Negara berdasarkan Undang-undang No. 19 prp tahun 1960 (LN 1960 – 59). Menurut Undang-Undang ini, yang disebut Perusahaan ialah perusahaan dengan bentuk apa saja, yang modal seluruhnya merupakan kekayaan Negara Republik Indonesia, kecuali jika ditentukan lain berdasarkan undang-undang (pasal 1, Undang-Undang No. 19 prp tahun 1960).
D. Penentuan Tempat/Lokasi Perusahaan
A. Pengertian / Arti Definisi Lokasi Perusahaan
Lokasi Perusahaan adalah suatu tempat di mana perusahaan itu malakukan kegiatan fisik. Kedudukan perusahaan dapat berbeda dengan lokasi perusahaan, karena kedudukan perusahaan adalah kantor pusat dari kegiatan fisik perusahaan. Contoh bentuk lokasi perusahaan adalah pabrik tempat memproduksi barang.
B. Faktor-Faktor Pokok Penentu Pemilihan Lokasi Industri
- Letak dari sumber bahan mentah untuk produksi
- Letak dari pasar konsumen
- Ketersediaan tenaga kerja
- Ketersediaan pengangkutan atau transportasi
- Ketersediaan energi
C. Jenis-Jenis Lokasi Perusahaan
1. Lokasi perusahaan yang ditetapkan pemerintah
Lokasi ini sudah ditetapkan dan tidak bisa seenaknya membangun perusahaan di luar lokasi yang telah ditentukan. Contohnya adalah seperti kawasan industri cikarang, pulo gadung, dan lain sebagainya.
2. Lokasi perusahaan yang mengikuti sejarah
Lokasi perusahaan yang dipilih biasanya memiliki nilai sejarah tertentu yang dapat memberikan pengaruh pada kegiatan bisnis. Misalnya seperti membangun perusahaan udang di cirebon yang merupakan kota udang atau membangun usaha pendidikan di yogyakarta yang telah terkenal sebagai kota pelajar.
3. Lokasi perusahaan yang mengikuti kondisi alam
Lokasi perusahaan yang tidak bisa dipilih-pilih karena sudah dipilihkan oleh alam. Contoh : Tambang emas di cikotok, tambang aspal di buton, tambang gas alam di bontang kaltim, dan lain sebagainya.
4. Lokasi perusahaan yang mengikuti faktor-faktor ekonomi
Lokasi perusahaan jenis ini pemilihannya dipengaruhi oleh banyak faktor ekonomi seperti faktor ketersedian tenaga kerja, faktor kedekatan dengan pasar, ketersediaan bahan baku, dan lain-lain.
E. Penerapan Pengolahan Air Limbah Industri di Indonesia Tidak Optimal
Potensi industri telah memberikan sumbangan bagi perekonomian Indonesia melalui barang produk dan jasa yang dihasilkan, namun di sisi lain pertumbuhan industri telah menimbulkan masalah lingkungan yang cukup serius. Buangan air limbah industri mengakibatkan timbulnya pencemaran air sungai yang dapat merugikan masyarakat yang tinggal di sepanjang aliran sungai, seperti berkurangnya hasil produksi pertanian, menurunnya hasil tambak, maupun berkurangnya pemanfaatan air sungai oleh penduduk.
Seiring dengan makin tingginya kepedulian akan kelestarian sungai dan kepentingan menjaga keberlanjutan lingkungan dan dunia usaha maka muncul upaya industri untuk melakukan pengelolaan air limbah industrinya melalui perencanaan proses produksi yang effisien sehingga mampu meminimalkan limbah buangan industri dan upaya pengendalian pencemaran air limbah industrinya melalui penerapan installasi pengolahan air limbah. Bagi Industri yang terbiasa dengan memaksimalkan profit dan mengabaikan usaha pengelolaan limbah agaknya bertentangan dengan akal sehat mereka, karena mereka beranggapan bahwa menerapkan instalasi pengolahan air limbah berarti harus mengeluarkan biaya pembangunan dan biaya operasional yang mahal. Di pihak lain timbul ketidakpercayaan masyarakat bahwa industri akan dan mampu melakukan pengelolaan limbah dengan sukarela mengingat banyaknya perusahaan industry yang dibangun di sepanjang aliran sungai, dan membuang air limbahnya tanpa pengolahan. Sikap perusahaan yang hanya berorientasi “Profit motive” dan lemahnya penegakan peraturan terhadap pelanggaran pencemaran ini berakibat timbulnya beberapa kasus pencemaran oleh industry dan tuntutan-tuntutan masyarakat sekitar industry hingga perusahaan harus mengganti kerugian kepada masyarakat yang terkena dampak.
Latar belakang yang menyebabkan terjadinya permasalahan pencemaran tersebut dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
(1) Upaya pengelolaan lingkungan yang ditujukan untuk mencegah dan atau memperkecil dampak negatif yang dapat timbul dari kegiatan produksi dan jasa di berbagai sektor industri belum berjalan secara terencana.
(2) Biaya pengolahan dan pembuangan limbah semakin mahal dan dana pembangunan, pemeliharaan fasilitas bangunan air limbah yang terbatas, menyebabkan perusahaan enggan menginvestasikan dananya untuk pencegahan kerusakan lingkungan, dan anggapan bahwa biaya untuk membuat unit IPAL merupakan beban biaya yang besar yang dapat mengurangi keuntungan perusahaan.
(3) Tingkat pencemaran baik kualitas maupun kuantitas semakin meningkat, akibat perkembangan penduduk dan ekonomi, termasuk industri di sepanjang sungai yang tidak melakukan pengelolaan air limbah industrinya secara optimal.
(4) Perilaku sosial masyarakat dalam hubungan dengan industri memandang bahwa sumber pencemaran di sungai adalah berasal dari buangan industri, akibatnya isu lingkungan sering dijadikan sumber konflik untuk melakukan tuntutan kepada industri berupa perbaikan lingkungan, pengendalian pencemaran, pengadaan sarana dan prasarana yang rusak akibat kegiatan industri.
(5) Adanya Peraturan Pemerintah tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air nomor: 82 Tahun 2001, meliputi standar lingkungan, ambang batas pencemaran yang diperbolehkan, izin pembuangan limbah cair, penetapan sanksi administrasi maupun pidana belum dapat menggugah industri untuk melakukan pengelolaan air limbah.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Adapun yang menjadi kesimpulan dari tulisan diatas, sebagai berikut :
1. Pembangunan yang mengandalkan teknologi dan industri dalam mempertahankan tingkat pertumbuhan ekonomi seringkali membawa dampak negatif bagi lingkungan hidup manusia.
2. Pencemaran lingkungan akan menyebabkan menurunnya mutu lingkungan hidup, sehingga akan mengancam kelangsungan mahluk hidup, terutama ketenangan dan ketentraman hidup manusia.
3. Adanya pengertian dan persepsi yang sama dalam memahami pentingnya lingkungan hidup bagi kelangsungan hidup manusia akan dapat mengendalikan tindakan dan prilaku manusia untuk lebih mementingkan lingkungan hidup.
4. Kemauan untuk saling menjaga kelestarian dan kesimbangan lingkungan hidup merupakan itikad yang luhur dari dalam diri manusia dalam memandang hakekat dirinya sebagai warga dunia.

Saran.
1. Sebaiknya dalam mengeksploitasi sumber daya alam dan lingkungan yang dilakukan oleh dunia industri tidak hanya bertujuan meningkatkan keuntungan ekonomi semata, harus pula diiringi dengan kemauan untuk menyisihkan biaya bagi penelitian dan pemeliharaan lingkungan hidup.
2. Perlu dilibatkan masyarakat dalam pengawasan pengolahan limbah buangan industri agar lebih intens dalam menjaga mutu lingkungan hidup. Ikhtiar ini merupakan salah satu bentuk partisipasi dan pengawasan bial untuk memelihara kelestarian lingkungan hidup.

STUDI KASUS
Pengaruh Pembangunan Perkebunan Sawit
Terhadap Masyarakat Pedalaman Kalimantan
1. Respon Masyarakat Atas Hadirnya Perkebunan Sawit di Sekitar Sembuluh
Antara tahun 1996 hingga 1999, sebagian besar masyarakat Sembuluh masih menolak kehadiran perkebunan sawit di Sembuluh, namun, setelah 2001 banyak di antara masyarakat yang kemudian melepaskan tanahnya kepada perusahaan perkebunan sawit. Meskipun demikian, tidak berarti proses pendirian perkebunan sawit berjalan lancar, karena proses pelepasan lahan milik masyarakat kepada perusahaan perkebunan sawit berjalan lambat sehingga menghabiskan waktu banyak. Akibatnya, pihak perusahaan juga merasa dirugikan secara material atas tertundanya pendirian perkebunan sawit. Munculnya kelompok dalam masyarakat yang menolak kehadiran perkebunan sawit di sekitar tempat tinggal mereka telah menimbulkan konflik vertikal dan horisontal, yaitu antara masyarakat dengan pihak pengelola perkebunan sawit, dan antar kelompok dalam masyarakat.
Meskipun perusahaan perkebunan sawit berhasil melakukan land clearing, penanaman kelapa sawit, di saat krisis ekonomi tengah berlangsung, namun mereka harus menghadapi penolakan dari beberapa kelompok masyarakat di Sembuluh, dan juga kelompok masyarakat sipil di tingkat nasional dan internasional (Casson, 2001). Terutama PT AI yang beroperasi di sekitar desa Sembuluh, mereka harus menghadapi demonstrasi dan sabotase yang dilakukan oleh kelompok masyarakat yang merasa dirugikan atas beroperasinya perkebunan kelapa sawit milik PT AI.
Sejak awal masuknya PT AI[14] di sekitar Sembuluh memang sudah menimbulkan konflik. Proses masuknya PT AI sejak tahun 1995/1996, saat itu melakukan pengukuran dan land clearing tanpa ada proses perundingan dengan masyarakat Sembuluh. Kebun dan ladang yang terdapat di sekitar Sembuluh digarap tanpa sepengetahuan masyarakat. Seperti disinggung sebelumnya, BP, seorangstaf PT AI, mengakui bahwa perusahaan menerapkan strategi mengakuisisi lahan milik terlebih dahulu tanpa negosiasi dengan masyarakat. Strategi ini dilakukan sebelum tahun 1998, karena menurut pihak perusahaan telah memperoleh izin dari Pemerintah Kabupaten Kotim. Pada saat itu, terdapat anggapan bahwa hutan di sekitar Sembuluh adalah milik negara, dan bukan milik masyarakat. Selain itu, konteks politik saat itu (masa rejim Orde Baru) memang memberikan peluang lebih besar kepada perusahaan daripada kepada masyarakat.
Sesungguhnya, kejengkelan masyarakat terhadap PT AI tidak hanya berakar pada persoalan ganti rugi lahan yang belum dibayarkan. Tetapi, pada proses land clearing yang dilakukan oleh PT AI telah menyebabkan konflik antara masyarakat Desa Terawan dengan Desa bangkal (keduanya berbatasan langsung dengan Desa Sembuluh) karena persoalan batas tanah. Selain itu, terdapat makam yang dianggap keramat oleh masyarakat yang terletak di Sungai Dilam dekat Desa Terawan yang turut “dibersihkan” oleh PT AI. Hal lain yang dianggap merugikan masyarakat adalah cara PT AI membersihkan lahan dengan membakar hutan. Karena, selain menimbulkan dampak polusi, masyarakat juga sering menjadi sasaran tuduhan sebagai pembakar hutan oleh pemerintah.
Merespons demonstrasi masyarakat tersebut, PT AI kemudian bersedia memberikan ganti rugi lahan tahap I yang dilakukan pada tahun 1998. Namun, ganti rugi tersebut tidak dianggap tidak memuaskan dari pihak masyarakat, karena PT AI hanya memberi Rp 50 per meter persegi untuk kebun buah-buahan dan Rp 25 per meter untuk lahan ladang dengan tanaman ringan. Namun pada saat yang, PT AI juga masih melakukan land clearing untuk memperluas area perkebunan sawit. Situasi tersebut membuat masyarakat semakin marah dan berencana melakukan aksi lebih lanjut. Pada 18 Oktober 1999 mereka melakukan aksi ke DPRD yang kemudian diteruskan dengan pemotongan jembatan milik PT AI pada 11 November 1999.[15] Aksi sabotase ini dipimpin oleh Wardian, salah satu tokoh masyarakat Sembuluh dan diikuti oleh 300 warga Sembuluh, dan Desa Bangkal serta Terawan.

Adapun isu yang diangkat oleh masyarakat Sembuluh dalam aksi tersebut tidak hanya menuntut masalah ganti rugi lahan saja, tetapi masyarakat juga menuntut:
Penyelesaian konflik yang terjadi antara perusahaan dan masyarakat;
(1) Perusahaan harus menanggulangi bahaya yang akan mengancam akibat
kerusakan lingkungan;
(2) Perusahaan perkebunan harus dapat memberikan jaminan untuk meningkatkan
kesejahteraan dimasa datang karena berbagai bidang usaha rakyat sudah banyak
yang terganggu dan hilang.
2. Sikap Masyarakat terhadap Perkebunan Sawit
Seperti diberitakan di berbagai media, terutama media lokal, pada waktu proses pembukaan lahan untuk area perkebunan, telah menimbulkan konflik antara perusahaan perkebunan dengan masyarakat Sembuluh. Selain konflik, masuknya perusahaan perkebunan sawit telah menimbulkan beragam respon dari masyarakat Sembuluh. Pertama, masyarakat menolak kehadiran perkebunan sawit di sekitar desa mereka karena hampir kebanyakan lokasi perusahaan menempati lahan milik masyarakat. Kedua, masyarakat yang menerima dengan senang hati karena diuntungkan dengan proses pembangunan perkebunan sawit.
1. Kelompok Masyarakat yang Menolak Perkebunan Sawit
Sebagian masyarakat Sembuluh menganggap bahwa perusahaan perkebunan akan menghalangi akses mereka terhadap sumber-sumber ekonomi mereka, dalam hal ini hutan dan ladang tempat bekerja masyarakat. Alasan masyarakat Sembuluh menolak hadirnya perkebunan sawit karena perusahaan perkebunan sawit dianggap akan mengambil alih lahan mereka, yang berarti akan menutup sumber penghidupan mereka. Selain itu, masyarakat tidak menyukai cara-cara kerja perusahaan perkebunan yang menyerobot lahan milik mereka secara langsung tanpa membicarakannya terlebih dahulu.
Noveria dkk., (2005) menyatakan bahwa terdapat dua alasan mengapa masyarakat yang menolak kehadiran perkebunan sawit. Pertama adalah tergusurnya ladang dan hutan tempat masyarakat bekerja. Mayoritas masyarakat Sembuluh adalah peladang dan pencari kayu, atau setidak-tidaknya mereka pernah melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut. Seperti disebutkan di bab sebelumnya, masyarakat Sembuluh adalah peladang berpindah. Mereka membuka hutan, kemudian berladang selama dua hingga lima tahun dan setelah dianggap tidak subur mereka akan meninggalkan ladang tersebut untuk mencari ladang yang baru lagi. Namun, dengan hadirnya perkebunan sawit dalam skala yang besar, maka masyarakat Sembuluh tidak dapat melakukan aktivitas berladang lagi. Kedua, adalah mereka yang dengan kesadarannya berusaha untuk melindungi masa depan lingkungan sosial dan ekonominya.
Masyarakat yang menentang perkebunan sawit tersebut sebagian besar adalah bekas peladang, pedagang, juga aparat pemerintah desa yang cukup gigih mempertahankan lahan miliknya. Beberapa diantara mereka, secara ekonomi sudah cukup mapan dan tidak perlu terlalu khawatir akan kehilangan sumber penghasilan dari lahan yang akan ditempati oleh perusahaan perkebunan. Rusaknya lingkungan alam sehingga generasi muda di wilayah tersebut kemungkinan akan mengalami berbagai akibat buruk di masa mendatang hal inilah yang menjadi fokus utama kekhawatiran mereka.
2. Kelompok Masyarakat yang Mendukung Perkebunan Sawit
Sebagian masyarakat Sembuluh dapat menerima kehadiran perkebunan sawit di sekitar mereka karena merasa diuntungkan dengan proses pembangunan perkebunan sawit. Misalnya adalah para penduduk yang merasa memiliki lahan yang luas, para makelar tanah, penduduk yang tidak memiliki tanah namun terlibat dalam pembebasan lahan, dan sebagian aparat pemerintahan desa, aparat kecamatan serta aparat kabupaten, dan juga para pegawai perusahaan. Kelompok ini merupakan pendukung utama perkebunan sawit. Masyarakat yang dikategorikan sebagai pendukung perkebunan sawit karena secara terang-terang mendukung program tersebut dan mereka yang dengan sukarela menjual lahannya untuk perusahaan perkebunan sawit. Di antara mereka bahkan ada yang menjadi agen aktif, yaitu secara aktif mempengaruhi anggota masyarakat lainnya untuk mendukung program perkebunan sawit atau mempengaruhi orang lain untuk menjual lahannya kepada perusahaan perkebunan sawit. Beberapa agen aktif ini adalah aparat desa yang mempunyai posisi penting dan pengaruh yang kuat di masyarakat. Mereka ini biasanya mempunyai “hubungan khusus” dengan perusahaan (Noveria dkk., 2005).
Dilihat dari motivasinya, Noveria dkk. (2005) menyatakan terdapat dua kelompok yang dapat dinyatakan sebagai pendukung program perkebunan sawit. Pertama adalah kelompok yang menjual lahannya karena alasan untuk mendapatkan uang. Kebutuhan akan barang-barang dan gaya hidup yang mewah telah menyebabkan sebagian masyarakat memerlukan uang dalam jumlah yang besar dan dalam waktu yang cepat. Meskipun Sembuluh adalah desa terpencil, namun sebagian masyarakat telah terpengaruh oleh budaya konsumen seperti yang terjadi di kota-kota besar. Misalnya, banyaknya barang-barang elektronik dan gaya hidup yang relatif mewah telah menjadi pemandangan sehari-hari di Sembuluh. Kedua adalah kelompok yang secara sadar menjual lahannya karena mereka tidak dapat menolak program perkebunan sawit yang secara nyata didukung oleh pemerintah. Sebagian penduduk melihat bahwa program perkebunan sawit adalah program yang dicanangkan oleh pemerintah yang harus dipatuhi. Juga menyadari bahwa mereka tidak mungkin menang melawan kolaborasi antara perusahaan besar dan pemerintah. Selain memiliki modal finansial yang besar, lawan yang dihadapi adalah berkuasa sekali. Di sisi lain, perusahaan juga menawarkan uang yang cukup besar dan dalam waktu yang cepat. Maka dari itu, tidak ada pilihan bagi penduduk untuk menerima program perkebunan sawit.


DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Ibrahim M., Sekilas Perkembangan alih teknologi di Indonesia. Prisma No. 4, LP3ES,Jakarta, 1987.
Kusumaatmadja, Sarwono., Persepsi, Kesadaran, dan Pentaalan Terhadap lingkungan hidup, dalam Sudjana, Eggi dan Burhan, Latif(ed.).Upaya Penyamaan Persepsi, Kesadaran dan Pentaatan Terhadap Pemecahan Masalah Lingkungan hidup. CIDES, Jakarta, 1996. Kalteng Post, 1 Mei 2004.
Sumber: BPS Provinsi Kalimantan Tengah. 2003 dan Kalimantan Tengah Dalam Angka 2002.
Lihat Casson (2000)
Kompas, 18 Maret 2004.
Kompas, 18 Maret 2004.
Lihat http://www.seruyan.go.id.
Sumber: analisis berita surat kabar lokal Kalteng (Noveria dkk., 2004).

Tidak ada komentar: