Rabu, 05 Mei 2010

Tashih masalah ( Pembulatan Asal Masalah)

BAB I
LATAR BELAKANG

Syariat Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur dan adil. Di dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan dengan cara yang legal. Syariat Islam juga menetapkan hak pemindahan kepemilikan seseorang sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya, dari seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan, besar atau kecil.

Al-Qur'an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang harus diterima semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas saudara seayah atau seibu.

Oleh karena itu, Al-Qur'an merupakan acuan utama hukum dan penentuan pembagian waris, sedangkan ketetapan tentang kewarisan yang diambil dari hadits Rasulullah saw. dan ijma' para ulama sangat sedikit. Dapat dikatakan bahwa dalam hukum dan syariat Islam sedikit sekali ayat Al-Qur'an yang merinci suatu hukum secara detail dan rinci, kecuali hukum waris ini. Hal demikian disebabkan kewarisan merupakan salah satu bentuk kepemilikan yang legal dan dibenarkan AlIah SWT. Di samping bahwa harta merupakan tonggak penegak kehidupan baik bagi individu maupun kelompok masyarakat.

Dalam peradilan atau dalam hukum Indonesia juga terdapat hukum waris adat. Selama ini, khususnya sebelum muncul UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama memamg sering terjadi kerancuan. Bagi umat muslim mau membagi warisannya secara apa. Jika ia mau membagikan menurut hukum Islam bagaimana, jika ia mau membagikan secara hukum adat atau perdata bagaimana. Artinya, sebelum keluarnya UU Pengadilan Agama masing-masing orang mempunyai pilihan atau opsi dengan cara apa ia membagi warisannya. Misalnya yang beragama islam bisa saja tidak mengambil secara waris islam tapi bisa ke waris perdata.

Dalam hukum waris Islam dikenal juga adanya mahjud (tertutupnya ahli waris). Bukan terhalang, tapi tertutup. Misalnya seorang cucu tidak bisa mendapat warisan jika ada anak. Kemudian kakek juga tidak dapat warisan kalau bapaknya masih ada.


BAB II
PERMASALAHAN

Permasalahan hukum waris yang saya angkat diantaranya yaitu:
I. Permasalahan dengan kasus kalau yang meninggal adalah istri dan tidak memiliki anak. Bagaimana pembagian dan solusi yang terbaik.
II. Untuk kasus dimana misalnya seseorang meninggal, dimana sebelumnya dia memberikan hibah ke anaknya yang pertama. Bagaimana pembagian dan solusi yang terbaik.
III. Untuk kasus keadaan dimana seorang ibu yang sedang hamil dan kemudian suaminya meninggal. Bagaimana pembagian dan solusi yang terbaik.
IV. Terdapat lagi satu kasus seseorang istri yang menikah dibawah tangan dengan suaminya dan suaminya kemudian meninggal. Bagaimana pembagian dan solusi yang terbaik.


BAB III
PEMBAHASAN

A. Pengertian
Tashih masalah ( Pembulatan Asal Masalah) adalah suatu hal yang harus dilakukan oleh setiap orang yang membicarakan ilmu waris, sehingga dia bisa membagikan harta waris kepada ahli waris yang berhak menerimanya dengan jalan yang benar dan menyerahkan bagian-bagian tersebut kepada mereka dengan sempurna, tidak kurang dan tidak lebih. 

Yang jelas dalam waris Islam bagian laki-laki 2 kali bagian perempuan. Sedangkan dalam hukum waris perdata bagian perempuan seimbang atau sama rata dengan bagian laki-laki. Namun demikian dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) jiga ditegaskan bahwa apabila kata sepakat atau musyawarah antara para ahli waris maka warisan bisa dibagi secara sama rata. 

Dikalangan ulama fikih dan ulama faraid, mengetahui asal masalah disebut dengan istilah ta’shil. Maksudnya, agar kita bisa menghasilkan angka terkecil yang bisa dibagikan dengan genap kepada setiap ahli waris. Dalam hal penyelesaiaan masalah, pembagian waris tidak bisa diterima kecuali dengan pembagian yang genap.
Dalam rangka mencari asal masalah, langkah pertama yang harus dilakukan adalah melihat para ahli waris. Apakah mereka yang terdiri dari ahli waris ashabah (bagian sisa) semua atau ahli waris bagian pokok (dzamil furudh) semua, atau campuran (sebagian ahli waris ashabah dan sebagian yang ahli waris (dzamil furudh).


B. Bentuk-bentuk Ahli Waris Berdasarkan Asal Masalah
1. Ahli waris ashabah (bagian sisa) semua.
Tahap ini dikerjakan setelah selesai tahapan halang-menghalang, sebab kalaupun tahapan halang-menghalangsudah selesai bukan berarti sudah dapat ditentukan berapa bagian masing-masing, karena diantara para ahli waris yang tidak terhalang tersebut kemungkinan ada ahli waris yang tidak dapat ditentukan porsi atau jumlah bagiannya, sebab tidak ada porsi khususyang telah ditetapkan untuk bagiannya, dan oleh karena sesuatu hal dia menjadi ashabah.

Apabila seseorang atau beberapa orang ahli waris sudah ditetapkan sebagai ashabah, maka dapat saja memperoleh bagian yang lebih besar, atau memperoleh sedikit, atau dapat juga tidak memperoleh sisa sama sekali.

Konsekuensi ashabah adalah menunggu sisa pembagian, dengan sendirinya seorang ashabah dapat saja memperoleh bagian yang lebih besar, atau memperoleh sedikit, atau dapat juga tidak memperoleh sisa sama sekali.

Secara umum ashabah ini terbagi kepada dua, yaitu:
1. Ashabah Nasabiyah, yaitu menjadi ashabah disebabkan adanya hubungan darah dengan si pewaris.
a. Ashabah bi Nafsi, yaitu ia menjadi ashabah dengan dirinya sendiri, yaitu disebabkan karena kedudukannya. Adapun ahli waris yang menjadi ashabah bi nafsi ini adalah seluruh ahli waris yang laki-laki kecuali suami dan saudara laki-laki seibu.
b. Ashabah bil Ghair, yaitu menjadi ashabah karena disebabkan oleh orang lain, hal ini terjadi pada ahli waris yang perempuan, dimana sebelumnya di bukan merupakan ashabah (ada bagian tertentu dalam Al-Qur’an dan Hadist), namun dengan hadirnya ahli waris bi nafsi (laki-laki) yang sederajat dengannya dia menjadi ashabah.
1) AP dikarenakan AL
2) CP dikarenakan CL
3) Cicit pr dikarenakan civit lk; seterusnya ke bawah. Cicit lk dapat
mengshabahkan CP apabila CL tidak ada (yang rendah dapat mengashabahkan
yang lebih tinggi dengan syarat yang diatas akan terhijab).
4) Sdr pr sisb dikarenakan sdr lk sisb.
5) Sdr pr sb dikarenakan sdr lk sb.
Contoh :
Suami meninggal, meninggalkan:
1 istri, 1ibu, 4 anak, 7 cucu Pr ashabah bil ghair karena cicit laki-laki, 2 cicit Lk ashabah bi nafsi.

Dalam kasus ini walaupun anak perempuan lebih dari 1 orang dan ccu laki-laki tidak ada. Namun cucu perempuan tidak terhijab karena diashabah oleh cicit laki-laki. Cucu perempuan dapat saja diashabah oleh cicit laki-laki atau yang lebih rendah, dengan syarat cucu perempuan akan terhalang, sedangkan apabila cucu perempuan tidak akan terhalang maka cicit laki-laki tidak dapat mengashabahnya (cucu perempuan). Dengan demikian anak perempuan tidak akan pernah diashabahkan oleh cucu laki-laki, cicit laki-laki karena anak perempuan tidak akan pernah terhalang.
c. Ashabah Ma’al Ghair, yaitu menjadi ashabah karena mewaris bersama dengan orang
lain. Yang menjadi ashabah ma’al ghair ini adalah saudara perempuan seibu sebapak karena mewaris bersama dengan anak perempuan (AP), cucu perempuan (CP), cicit perempuan dan seterusnya. Jelas ashabah ma’al ghair ini kemungkinannya hanyalah saudara perempuan seibu sebapak dan saudara perempuan sebapak saja, yaitu:
1) Sdr pr sisb bersama dengan AP
2) Sdr pr sisb bersama dengan CP
3) Sdr pr sb bersama dengan AP
4) Sdr pr sb bersama dengan CP
Contoh :
Seorang suami meninggal, dan meninggalkan ahli waris sebagai berikut:
4 orang istri, 1 anak perempuan, 1 sdr pr sisb (ahabah ma’al ghair karena AP), 2 sdr lk sb dan 3 sdr pr sb (terhijab oleh sdr pr sisb karena ahabah ma’al ghair).

Dalam kasus ini kalaupun saudara laki-laki sebapak merupakan ashabah bi nafsi, dan saudara perempuan sebapak menjadi ashabah bil ghair (karena bersama dengan sdr lk sb) dia tetap terhalang, karena saudara perempuan seibu sebapak menjadi ashabah ma’al ghair, sebab ia mewaris bersama dengan anak perempuan, dan apabila saudara perempuan seibu sebapak ashabah ma’al ghair, maka kedudukannya sama dengan saudara laki-laki seibu sebapak dan otomatis saudara laki-laki sebapak terhijab.
2. Ashabah Sababiyah, yaitu menjadi ashabah dikarenakan adanya sesuatu sebab, sebab yang dimaksud di sini adalah karena ada perbuatan memerdekakan si mayat dari perbudakan (lazimnya sekarang ini tidak ada lagi ditemui).

2. Ahli waris bagian pokok (dzamil furudh) semua.
Adapun yang dimaksud dengan bagian pokok (dzamil furudh) adalah bagian masing-masing/pendapatan ahli waris yang telah ada ketentuannya dalam ketentuan Al-Qur’an dan Al-Hadis.

Jika ahli waris hanya terdiri dari seseorang ahli waris bagian pokok, maka asal masalahnya diambil dari angka penyebut bagian ahli waris tersebut. Jika bagiannya 1/3 asal masalahnya 3; untuk bagian ¼ asal masalahnya 4; untuk bagian 1/6 asal masalahnya 6; untuk bagian 1/8 asal masalahnya 8. begitu seterusnya, asal masalah seorang ahli waris adalah penyebut dari pecahan angka yang menunjukkan bagiannya.

Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 192 menyebutkan, ”apabila dalam pembagian harta warisan di antara para ahli waris Dzamil furud menunjukkan bahwa angka pembilang lebih besar dari angka penyebut, maka angka penyebut dinaikan sesuai dengan angka pembilang, dan baru sesudah itu harta warisan dibagi secara aul menurut angka pembilang”

Di ikuti dalam pasal 193 menyebutkan ” apabila dalam pembagian harta warisan di antara para ahli waris Dzamil furud menunjukkan bahwa angka pembilang lebih kecil dari angka penyebut, sedangkan tidak ada ahli waris asabah,maka angka pembagian harta warisan tersebut dilakukan secara rad, yaitu sesuai dengan hak masing-masing ahli waris, sedangkan sisanya dibagi secara berimbang diantara mereka”

C. Cara Penyelesaian Masalah
1. Pembahasan Masalah I
Jadi dalam hukum waris Islam dikenal ashabul furud, yaitu mereka yang berhak menerima bagian waris secara mutlak atau tidak akan tertutup oleh siapapun juga. Ashabul furud ini pertama kali adalah suami atau istri yang ditinggal mati oleh istri atau suami. Suami atau istri ini mutlakmendapat harta warisan pewaris (pihak yang meninggal) dan tidak bisa terhalang oleh siapapun. Namun apabila si pewaris memiliki anak, maka anak-anaknya (baik yang perempuan atau laki-laki) juga mendapat warisan itu.

Kalau yang meninggal adalah istri dan tidak memiliki anak, maka si suami mendapatkan separuh dari harta warisan, sedangkan jika punya anak si suami mendapat ¼. Kalau yang meninggal adalah suamidan tidak memiliki anak, maka si istri mendapat ¼ dari harta warisan pewaris, sedangkan jika punya anak maka si istri mendapatkan 1/8. Kalau orang tua pewaris masih hidup, maka bapak dan ibu pewaris juga mendapat harta warisan dan tidak bisa tertutup oleh siapapun. Jadi ada ashabul furud yang keatas (yaitu orang tua), menyamping (yaitu suami atau isti) dan ke bawah (yaitu anak). Saudara kandung (kakak atau adik) pewaris bisa saja mendapat warisan jika pewaris tidak memiliki anak. 

Dalam hukum syar;i Islam ini juga diatur masalah rumah tangga mulai dari seseorang belum lahir sampai meninggal. Begitu pula masalah harta-harta itu sendiri. Contohnya setelah di menikah dan kemudian bercerai itu kan ada ketentuan mengenai harta bersama yang dipilah dengan harta bawaan. Begitu juga ketika seseorang meninggal, maka disitu dikenal juga harta peninggalan dan harta warisan. Dalam bab 1 Pasal 171 poin d KHI disebutkan harta peninggalan adalah adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris, baik yang berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya. Hak-hak ini misalnya hak cipta atau hak kekayaan intelektual.

Kemudian dalam KHI juga dijelaskan mengenai harta warisan, yaitu harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah, pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.

2. Pembahasan Masalah II
Jadi harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris, sedangkan harta warisan murni adalah harta bawaan ditambah harta bersama dari suami atau istrinya setelah dipilih dan dikurangi biaya pengurusan waktu dia sakit (jika memang sakit), meninggal, mengubur, membayar hutang (jika punya hutang) dan wasiat. Apabila punya wasiat dipilih juga wasiatnya. Harta warisan murni inilah yang nantinya akan dibagi-bagi kepada ahli waris. Bila juga terjadi dimana harta warisan murni justru kurang, sehingga ahli waris yang harusnya menanggung semua biaya-biaya yang tadi. Dalam surat An Nisa ayat 11 dikatakan bahwa Allah berwasiat kepada kamu untuk membagi warisan sesuai dengan syariat setelah dihitung wasiatnya (dipilih wasiatnya) dan diselesaikan hutang-piutangnya. Jadi kalau ada hutang piutang nanti kita liat hartanya berapa, hutangnya berapa. Kalau memang deficit atau minus itulah yang harus ditanggung bersama sesuai kesepakatan musyawarah.

Apabila harta peninggalan itu memang ada ahli warisnya maka ahli warisnya itu tetap dibagi. Karena peninggalan itu adalah harta secara umum. Sedangkan harta warisan murni adalah harta yang sudah dibersihkan dari segala urusan yang tadi.

Sedangkan untuk wasiat dalam hukum waris perdata dikenal dengan testament. Wasiat itu harus dibagi setelah pemberian wasiat meninggal. Wasiat ada yang tertutup dan terbuka dan bisa diberikan kepada siapa saja. Wasiat berbeda dengan hibah, karena kalau hibah boleh dilaksanakan si pemberi masih hidup, sedangkan wasiat baru boleh dilaksanakan setelah pemberi wasiat meninggal. Wasiat ini bisa dilakukan secara lisan atau tertulis dan dilakukan terhadap harta yang dimiliki secara sempurna. Artinya bukan harta dalam sengketa. Misalnya seorang bapak mewariskan sebidang tanah yang memang dia punya kepada anaknya. Wasiat juga tidak boleh lebih dari 1/3 harta warisan. Wasiat akan diperhitungkan sebagai bagian dari warisan kalau lebih dari 1/3. Anak laki-laki langsung mendapat bagian ashobah atau sisa harta. Wasiat juga harus disaksikan oleh dua orang saksi dan harus secara otentik dicatatkan di kantor notaries. Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa “apabila seseorang menjelang ajal atau sedang dalam bepergian jauh hendaknya dia membuat wasiat kepada keluarganya.” Oleh karena itu kita wajib berwasiat kepada keluarga kita apabila kita mau pergi jauh.

Untuk kasus dimana misalnya seseorang meninggal, dimana sebelumnya dia memberikan hibah ke anaknya yang pertama. Tapi dua orang anaknya yang lain tidak diberi hibah. Maka selama hibah itu diberikan kepada ahli waris itu akan diperhitungkan sebagai bagian warisan. Namun kalau hibah itu diberikan kepada yang bukan ahli waris akan dilihat bagaimana hibah itu dilakukan, sah atau tidak, otentik atau tidak, karena hibah juga ada juga dibawah tangan. Kalau hibah itu tidak sah maka pemberian hibahnya bisa ditarik dengan cara pembatalan hibah. Namun kita juga harus melihat unsure keadilannya juga. Kalau semua harta diberikan kepada anak angkat atau menentu kesayangan dimana mereka itu sebenarnya bukan ahli waris, maka perlu dilihat apakah hibah itu disetujui oleh ahli waris yang lainya.

3. Pembahasan Masalah III
Untuk kasus keadaan dimana seorang ibu yang sedang hamil dan kemudian suaminya meninggal, juga terkadang menimbulkan permasalahan tersendiri dan menimbulkan pertanyaan apakah si anak yang dikandung ini bisa terhitung sebagai ahli waris. Pada dasarnya ahli waris adalah orang yang ada pada waktu si pewaris meninggal atau wafat. Timbul satu pengembangan, bagaimana jika ahli waris meninggal sebelum si pewaris meninggal. Apabila anak bertepatan dengan meninggalnya suami itu perlu diperhitungkan sebagai bagian anak laki-laki. Namun apabila kembali kepada kaidah atau norma, ahli waris adalah orang yang ada pada waktu si pewaris wafat. Artinya kalau anak itu lahir setelah ayahnya meninggal atau ketika ayahnya meninggal si anak masih dalam kandungan maka ia tidak menjadi ahli waris.

Hal ini berbeda dengan hukum perdata. Menurut pasal 2 KUHPerdana, dinyatakan bahwa anak yang sedang dalam berada kandungan merupakan subyek hukum. Sehingga dengan demikian, bayi dalam kandungan pun memiliki mewaris. Dalam fikih juga ada pendapat demikian. Jadi tadi sudah saya katakana secara sepintas bahwa anak itu dihitung sebagai anak laki-laki. Tapi ada pendapat lain yang mengatakan bahwa itu tidak bisa. Karena si anak tersebut tidak ada wujudnya belum ada waktu si pewaris meninggal. Sehingga dengan demikian apabila si anak tersebut lahir, maka dia tetap akan mendapat warisan, namun hanya dari ibu.

4. Pembahasan Masalah IV
Terdapat lagi satu kasus seseorang istri yang menikah dibawah tangan dengan suaminya dan suaminya kemudian meninggal. Sebelumnya suami itu telah mempunyai seorang istri namun tidak mempunyai anak, sehingga istri pertama mengangkat seorang anak tetangga sebagai anaknya. Sebelum suami meninggal, ia pernah berpesan agar jika dirinya meninggal, maka sang istri dapat meminta hak warisnya kepada ibu mertuanya. Namun si ibu mertua ini tidak mau memberikan sekarang, melainkan nanti jika si anak sudah besar. Padahal anak-anak dari si istri yang dibawah tangan ini memberikan biaya pendidikan sejak kecil.

Kasus ini cukup rumit, karena menikah dibawah tangan maka pembuktiannya kurang kuat. Untuk itu, maka sang istri untuk itu si istri yang menikah dibawah tangan ini harus meminta itsbat nikah dulu ke pengadilan agama, agar perkawinan dengan suaminya itu (pewaris) tercatat. Hal ini untuk mencegah alibi mertuanya yang mengatakan bahwa perkawinan mereka tidak sah atau tidak kuat karena hanya dibawah tangan. Setelah memperoleh isbat nikah baru kemudian dia dapat menggugat ke pengadilan agama agar harta warisan suaminya segera dibagi. Walaupun pada dasarnya harta warisan itu tidak harus segera dibagi tetapi juga tidak harus ditunda pembagiannya. Pada pokoknya kalau memang ada isbat nikah atau buku nikah maka itu akan kita perhitungkan sebagai ahli waris. Namun demikian pengadilan akan melihat asas-asas keadilan.


BAB IV
PENUTUP

a. Kesimpulan
Dalam pembahasan diatas dapat kita ambil kesimpulannya yaitu manakala kita menghadapi persoalan warisan yang menyangkut dengan hukum waris Islam (hukum faraidh), apabila hendak menyelesaikannya sebenarnya dapat kita selesaikan dengan mudah, apabila segala persoalan yang menyangkut proses pembagiannya dikerjakan secara sistematis.
Dalam mengerjakan pembagian harta warisan menurut hukum waris islam, pertama sekali yang penting diketahui adalah sistematika penyelesaiannya, dengan kata lain ada tahapan-tahapan yang harus kita lalui, dan apabila tahapan-tahapan ini kita lalui dengan benar, maka bagaimanapun rumitnya persoalan warisan yang dihadapi, dengan mudah kerumitan itu akan dapat diselesaikan.

b. Saran
Dalam penyelesaian masalah mengenai pembagian waris harus didasari dengan asas keadilan yang juga harus merujuk kepada Al-Qur’an dan Hadist, beserta dengan hukum peraturan yang lainnya yang juga merujuk kepada penyelesaiaan yang berkeadilan dalam pembagian waris tersebut sehingga tidak ada persengketaan di kemudian harinya.


DAFTAR PUSTAKA

Ali, Prof. H. Mohammad Daud, S.H. 1991. Hukum Islam. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Lubis, Suhrawardi K., S.H Dan Komis Simanjuntak, S.H. 1995. Hukum Waris Islam.
Jakarta: Sinar Grafika.
M, Hajar. 2007. Hukum Kewarisan Islam. Pekanbaru: Alaf Riau.
Rahman, Drs. Fatchur. 1981. Ilmu Waris. Bandung: Alma’arif.
Shabuni, Syekh Muhammad Ali Ash. 1995. Hukum Waris Menurut AlQuran dan Hadis.
Bandung: Trigenda Karya.
Syarifuddin, Prof. Dr. Amir. 2004. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Prenada Media.
UU RI No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. 2007.
Bandung: Citra Umbara.
Summa, Prof. Muhammad Amin. 2005. Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam. Jakarta:
Rajawali Perss.
Prodjodikoro, Prof. Dr. R. Wirjono. 1988. Hukum Warisan Di Indonesia. Bandunga: Bale.
Soekanto, Soerjono. 2008. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Rajawali Perss.
Prof. H. Adjazuli. MA. 2003. Fiqih Siyasah. Bandung: Kencana.
Hasan, M. Ali. 2004. Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam. Jakarta: Rajawali Perss.

Tidak ada komentar: